Oleh: Mita Cahyani, BPK Perwakilan Provinsi Jawa Tengah
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Dalam beberapa kesempatan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaku sebagai lembaga yang berperan penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertambahan jumlah entitas yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari tahun ke tahun menjadi salah satu pendukung klaim tersebut. Benarkah demikian?
BPK adalah lembaga tinggi negara yang bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Salah satu pemeriksaan yang rutin dilakukan oleh BPK adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.
Dengan perannya sebagai auditor eksternal pemerintah, BPK wajib memastikan kewajaran atas angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D), badan layanan umum (BLU) dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Kewajaran penyajian angka-angka ini nantinya akan menjadi dasar pemberian opini oleh BPK atas laporan keuangan.
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2020 yang dikeluarkan BPK menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan atas laporan keuangan kementerian/lembaga (LKKL) dan laporan keuangan bendahara umum negara (LKBUN) tahun 2015-2019 menunjukkan perkembangan opini yang baik. Pada 2015, hanya 65% yang mendapatkan opini WTP. Akan tetapi, pada 2019, sudah 97% kementerian/lembaga di pemerintah pusat yang memperoleh opini WTP.
Untuk pemerintah daerah, perkembangan opini pun mengalami peningkatan yang baik. Pada 2015, ada 313 pemerintah daerah atau sekitar 58% yang mendapatkan opini WTP. Pada 2019, sudah 485 pemerintah daerah atau sekitar 90% berhasil memperoleh opini WTP. Angka ini adalah perhitungan secara total tanpa memperhitungkan fakta bahwa ada pemerintah pusat/daerah yang mengalami kenaikan atau penurunan opini.
Apabila opini atas laporan keuangan yang diberikan kepada suatu entitas adalah opini WTP, tentu saja kita menganggap bahwa entitas tersebut sudah melakukan pengelolaan keuangan negara/daerah dengan baik dan akuntabel. Namun, kenyataan bahwa masih ada praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat meskipun laporan keuangan yang dihasilkan entitasnya telah mendapatkan opini WTP. Ini membuat kita berpikir kembali, apakah opini yang baik berarti tidak ada kemungkinan untuk terjadi korupsi atau fraud? Sayangnya tidak demikian kenyataannya.
Contoh kasus korupsi yang menjerat kepala daerah yang laporan keuangannya memperoleh opini WTP adalah bupati Indramayu yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Oktober 2019. Dia terjerat kasus dugaan suap proyek jalan di Dinas PUPR Indramayu. Kasus lain yang baru-baru ini terjadi adalah penangkapan bupati Banggai Laut karena dugaan penerimaan suap pengadaan barang dan jasa (3/12/2020). Padahal Kabupaten Banggai Laut sudah mendapat opini WTP selama tiga tahun berturut-turut sejak 2017.
Jika opini tidak dapat menjadi tolok ukur untuk melihat ada tidaknya tindak korupsi di suatu entitas, apa dampak sebenarnya dari pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan BPK? Bukankah dari laporan keuangan seharusnya kita dapat melihat bagaimana kinerja dari entitas pembuat laporan keuangan tersebut?
Kemudian jika opini atas suatu laporan keuangan adalah WTP, bukankah seharusnya laporan keuangan tersebut sudah disajikan sesuai standar. Lalu sistem pengendalian intern sudah berjalan dengan baik, sudah patuh terhadap peraturan perundang-undangan, dan sudah diungkapkan secara cukup dan wajar untuk hal-hal yang material?
Pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan secara rutin oleh BPK merupakan salah satu usaha untuk mengurangi penyalahgunaan anggaran negara/daerah. Dengan pemeriksaan rutin, kesalahan administrasi dalam pertanggungjawaban dapat ditemukan dan dikoreksi. Ketidakpatuhan atas peraturan perundang-undangan dapat ditemukan. Kelemahan dalam sistem pengendalian intern yang memungkinkan timbulnya kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan anggaran dapat diidentifikasi dan diperbaiki untuk pengendalian yang lebih baik di tahun berikutnya.
Teori GONE oleh Jack Bologne menyatakan bahwa korupsi dapat timbul karena ada keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity), kebutuhan (Needs), dan pengungkapan (Exposure) (Jaka Isgiyata, Indayani, & Eko Budiyoni, 2018). Sedangkan Robert Klitgaard menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (ditjenpas.go.id/teori-teori-korupsi).
Dengan pemeriksaan atas laporan keuangan yang rutin dilakukan oleh BPK, faktor kesempatan dan pengungkapan dapat diminimalisasi. Apabila atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah diberikan opini WTP, tentunya hal itu menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern sudah berjalan baik. Sistem pengendalian intern yang berjalan baik akan memperkecil kesempatan terjadinya penyalahgunaan uang negara/daerah.
Selain itu, dalam laporan hasil pemeriksaan, BPK mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi pada entitas pengelola keuangan negara/daerah. Laporan tersebut dapat digunakan sebagai bukti awal apabila ditemukan tindakan yang menimbulkan kerugian negara.
Dari dua kasus yang disebutkan tadi, kepala daerah Indramayu dan Banggai Laut ditangkap karena kasus suap. Suap tersebut terjadi antara rekanan dan kepala daerah. Di satu sisi, hal tersebut tidak mempengaruhi laporan keuangan. Ini karena uang yang diserahkan adalah uang milik rekanan. Sementara angka belanja yang tercantum dalam laporan keuangan tetap sesuai dengan bukti pertanggungjawaban yang ada. Di sisi lain, dengan adanya suap tersebut tentunya kontraktor akan mengurangkan biaya suap tersebut dari lelang yang dimenangkannya dan mempengaruhi kualitas proyek yang dikerjakannya.
Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan, BPK akan menguji kewajaran angka-angka yang tersaji dan dicocokkan dengan pertanggungjawaban yang ada. BPK menguji apakah kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam laporan keuangan sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. BPK menguji apakah prosedur-prosedur yang harus dilalui demi terselenggaranya kegiatan yang tercantum dalam laporan keuangan sudah dilaksanakan sesuai jenjang tanggung jawabnya untuk memastikan pengendalian intern sudah berjalan dengan baik.
Untuk mendeteksi kecurangan seperti suap, Kepala Subauditorat Jawa Timur I Rusdiyanto saaat wawancara dengan Republika menyampaikan bahwa BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan prosedur seperti penyadapan. Dengn begitu BPK tidak bisa mendeteksi apakah ada praktik suap atau tidak.
Dari sisi lain, terdapat tren kenaikan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Jika kita melihat skor indeks persepsi korupsi (IPK), saat ini (per 2019) Indonesia mendapat skor 40 dari total skor 100. Skor ini meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (pada 2015-2018 skor IPK Indonesia adalah 36, 37, 37, dan 38 dari 100).
Dari pembahasan di atas, kita bisa melihat bahwa pemeriksaan atas laporan keuangan berpengaruh baik pada peningkatan tata kelola keuangan yang mengarah semakin berkurangnya peyalahgunaan atas keuangan negara/daerah. Tren peningkatan opini WTP pun sepertinya memang menggambarkan hal ini.
Akan tetapi, ada hal-hal lain yang ternyata menyebabkan korupsi tetap terjadi dan tidak cukup diantisipasi dengan pemeriksaan atas laporan keuangan saja. Misalnya faktor keserakahan dan tidak adanya akuntabilitas yang membarengi kekuasaan. Untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini, pemeriksaan laporan keuangan yang secara rutin dilakukan memang dapat meningkatkan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Selain itu, BPK juga perlu meningkatkan jenis pemeriksaan lainnya dan memastikan kompetensi pemeriksanya mumpuni untuk memberikan penilaian yang tepat.