JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Meningkatnya pembiayaan dan defisit anggaran pada masa pandemi Covid-19 menjadi salah satu hal yang diminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk diperhatikan pemerintah. Hal ini juga telah disampaikan dalam laporan hasil reviu atas Kesinambungan Fiskal Tahun 2020.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, hasil reviu atas Kesinambungan Fiskal menunjukkan bahwa pemerintah telah menyusun analisis keberlanjutan fiskal jangka panjang atau long term fiscal sustainability report (LTFS) yang mempertimbangkan skenario kebijakan fiskal yang akan diambil dan indikator yang dimonitor. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.
Hal pertama yang perlu mendapat perhatian adalah tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) serta penerimaan negara. “Sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” kata Ketua BPK saat menyampaikan LHP LKPP 2020 dan IHPS II 2020 kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (25/6).
Ketua BPK melanjutkan, pengelolaan risiko fiskal pemerintah juga belum memperhitungkan beban fiskal terkait kewajiban program pensiun jangka panjang, kewajiban dari putusan hukum yang sudah incraht, kewajiban penjaminan sosial, kewajiban kontingensi dari BUMN, dan risiko kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dalam pembangunan infrastruktur.
Ketiga, pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal. “Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, tetapi trennya menunjukan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah. Di samping itu, mulai 2023 besaran rasio defisit terhadap PDB dibatasi paling tinggi 3 persen,” ucap Ketua BPK.
Ketua BPK menambahkan, hal yang juga perlu diperhatikan adalah indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR). Ketua BPK memerinci, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen. Terakhir, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
“Indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 sebesar 4,27 persen, melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen,” kata Ketua BPK.