JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas pengelolaan batu bara, gas bumi, dan energi terbarukan dalam pengembangan sektor ketenagalistrikan untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi tahun anggaran 2020 sampai semester I tahun 2022. Pemeriksaan itu dilaksanakan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya BPK mendorong pemerintah dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB yaitu tujuan ke-7 “Menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan dan modern untuk semua”, terutama target 7.1 “Pada tahun 2030, menjamin akses universal terhadap layanan energi yang terjangkau, andal dan modern”.
Dari pemeriksaan tersebut, BPK mencatat pemerintah telah melakukan upaya dan capaian dalam kegiatan pengelolaan batu bara, gas bumi, dan energi baru terbarukan dalam pengembangan sektor ketenagalistrikan untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi. Hal itu di antaranya menyusun peta jalan menuju net zero emission (NZE) dan mengamankan pasokan batu bara dan gas bumi untuk kepentingan dalam negeri antara lain berupa kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara dan alokasi gas bumi. Selain itu, pemerintah juga menyusun Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) serta Long-term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.
BPK menyimpulkan, terdapat permasalahan yang dapat memengaruhi secara signifikan upaya pemerintah dalam pengelolaan energi primer untuk ketenagalistrikan dalam rangka menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi.
Permasalahan itu yakni mitigasi risiko atas skenario transisi energi menuju net zero emision (NZE) tahun 2060 belum sepenuhnya dilakukan. Kebijakan pemerintah untuk mencapai bauran energi baru dan terbarukan (EBT) 23 persen akan meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkitan sebesar 118,15 persen. Ini sangat berpengaruh terhadap besaran subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung oleh Pemerintah. Selain itu, terdapat permasalahan lain terkait dengan mitigasi risiko atas dukungan pendanaan dan kebijakan pengembangan energi terbarukan tenaga surya.
Akibatnya, muncul risiko tidak diperolehnya harga tenaga listrik yang ekonomis dan menurunnya daya saing industri dalam negeri yang menggunakan tenaga listrik.
BPK pun merekomendasikan kepada Menteri ESDM dan Menteri LHK sesuai dengan kewenangannya untuk segera melakukan perbaikan antara lain berkoordinasi dengan semua kementerian terkait dalam mengembangkan dan mendetailkan roadmap sektor ESDM dengan memperhatikan hubungan antarsektor, identifikasi risiko berikut rencana mitigasinya, dan melakukan analisis atas dampak dari pilihan yang ditetapkan.