JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan sejumlah rekomendasi kepada Menteri Luar Negeri untuk memperkuat upaya perlindungan WNI dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di luar negeri. Salah satu rekomendasi BPK adalah meningkatkan kerja sama bilateral dengan sejumlah negara ASEAN dalam pencegahan TPPO.
Rekomendasi itu dikeluarkan BPK setelah melakukan pemeriksaan kinerja atas efektivitas pelindungan warga negara Indonesia (WNI) dan kerja sama dalam upaya pemberantasan TPPO di luar negeri. Pemeriksaan dilaksanakan pada Kementerian Luar Negeri, Perwakilan RI, serta instansi terkait lainnya tahun 2021-semester I tahun 2023.
“Hasil pemeriksaan menyimpulkan terdapat permasalahan yang apabila tidak segera diatasi maka dapat memengaruhi efektivitas pelindungan WNI dan kerja sama dalam upaya pemberantasan TPPO di luar negeri, khususnya perlindungan terhadap WNI korban dan/atau saksi TPPO dalam rangka mewujudkan keberhasilan pencapaian penguatan stabilitas
polhukhankam, berupa optimalisasi kebijakan luar negeri dalam bentuk peningkatan pelindungan WNI di luar negeri,” demikian pernyataan BPK seperti dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2023.
BPK mengungkapkan, penanganan kasus dan pelindungan WNI saksi dan/atau korban TPPO di negara-negara wilayah Asia Tenggara perlu didukung dengan kerja sama bilateral yang memadai. Perjanjian kerja sama antara Pemerintah RI dan negara-negara di Asia Tenggara belum mengatur secara khusus lingkup kerja sama terkait peningkatan kapasitas penanganan korban TPPO, perlindungan dan rehabilitasi, serta pemulangan korban TPPO, dan pemberitahuan (notifikasi) dan bantuan kekonsuleran.
Akibatnya, Perwakilan RI belum dapat melakukan penanganan dan pelindungan yang optimal terhadap WNI yang terjerat kasus TPPO di luar negeri.
Terkait hal ini, BPK merekomendasikan Menteri Luar Negeri agar melakukan koordinasi dengan Pemerintah Negara Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Malaysia dalam upaya menggali potensi lingkup kerja sama bilateral dalam penanganan kasus dan pelindungan WNI saksi dan/atau korban TPPO yang meliputi sejumlah aspek.
Beberapa aspek itu adalah peningkatan kapasitas pelaksana dalam penanganan korban TPPO yang meliputi identifikasi dan penetapan status korban TPPO; Penyediaan tempat tinggal sementara bagi WNI saksi dan/atau korban TPPO selama dalam proses pemeriksaan; dan pemberitahuan (notifikasi) kekonsuleran.
BPK juga meminta Perwakilan RI di luar negeri meningkatkan pelaksanaan identifikasi WNI saksi dan/atau korban TPPO. Formulir wawancara awal (screening form) yang digunakan untuk identifikasi saksi dan/atau korban TPPO belum sepenuhnya dapat mengidentifikasi korban atau pelaku, indentifikasi kebutuhan WNI saksi dan/atau korban TPPO, serta rencana penanganannya. Selain itu, pelaksanaan identifikasi WNI saksi dan/atau korban TPPO pada Perwakilan RI belum sepenuhnya memadai. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan risiko kesulitan bagi Perwakilan RI untuk mengidentifikasi korban atau pelaku, identifikasi kebutuhan WNI saksi dan/atau korban TPPO, serta rencana penanganannya.
Selai itu, Kementerian Luar Negeri perlu mendorong kesepakatan perjanjian kerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) tentang pertukaran data dan informasi WNI saksi dan/atau korban TPPO yang telah direpatriasi dari luar negeri. Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM belum menyepakati perjanjian kerja sama untuk mengatur teknis pertukaran data dan informasi terkait penanganan WNI terindikasi atau korban TPPO dari luar negeri.
Akibatnya, upaya Pemerintah Indonesia dalam pencegahan WNI saksi dan/atau korban TPPO di luar negeri tidak dapat dijalankan secara efektif.
Pemeriksaan pelindungan warga negara Indonesia dan kerja sama dalam upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dilakukan untuk mengawal pelaksanaan PP 2 – optimalisasi kebijakan LN, khususnya KP penguatan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan perlindungan WNI di luar negeri.
Selain itu, pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya BPK mendorong pemerintah dalam mencapai TPB, yaitu tujuan ke-8, terutama target 8.8 melindungi hak-hak tenaga kerja dan mempromosikan lingkungan kerja yang aman dan
terjamin bagi semua pekerja, termasuk pekerja migran, khususnya pekerja migran perempuan, dan mereka yang
bekerja dalam pekerjaan berbahaya.