JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar Menteri Keuangan melakukan evaluasi atas nilai Barang Milik Negara (BMN) sehingga barang milik negara itu nilainya memadai sebagai underlying asset dalam penerbitan sukuk.
Rekomendasi itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Internal Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.
“.. menginventarisir aset Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/sukuk) berupa BMN yang mengalami pemutakhiran data/nilai dan aset BMN yang teridentifikasi double underlying dengan project underlying,” demikian bunyi rekomendasi tersebut.
Rekomendasi ini muncul setelah BPK melakukan evaluasi terhadap nilai penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, atau juga disebut sukuk negara, dan membandingkannya dengan nilai barang milik negara yang menjadi underlying asset.
Berbeda dari penerbitan surat berharga biasa seperti Surat Utang Negara (SUN), penerbitan Sukuk harus diikat dengan underlying asset. Ini karena prinsip syariah melarang transaksi money for money, yang dikategorikan riba.
Selain aset fisik berupa barang milik negara, penerbitan sukuk juga bisa didasari oleh proyek yang didanai tersebut, atau diistilahkan project underlying.
Audit BPK menemukan pada 2019 pemerintah menerbitkan sukuk Rp183,62 triliun menggunakan akad ijarah atau asset to be leased.
Namun setelah ditelusuri, penerbitan sukuk tahun 2019 itu masih menggunakan underlying asset barang milik negara yang pada 2012-2015 dengan nilai total Rp30,69 triliun. Padahal, penerbitan sukuk dengan menggunakan underlying asset sudah dimulai sejak 2012.
Masih adanya penggunaan barang milik negara tahun 2012-2015 untuk mendasari penerbitan sukuk tahun 2019 memunculkan potensi double underlying, yaitu suatu aset yang sudah diikat dengan sukuk seri tertentu digunakan lagi untuk penerbitan sukuk seri lain.
BPK menegaskan sukuk negara diterbitkan dengan prinsip syariah. Artinya, tiap penerbitan sukuk diikat aset yang nilainya sebanding. Potensi double underlying mengimplikasikan barang milik negara yang jadi underlying asset sebenarnya bernilai lebih rendah dari nilai sukuk yang diterbitkan.
Namun, konsekuensi yang lebih penting lagi, potensi double underlying ini menyalahi prinsip syariah Pasalnya, nilai aset dalam penerbitan sukuk berfungsi sebagai transaksi riil, yang merupakan pembeda utama antara surat berharga syariah dan surat berharga biasa.
Apabila nilai aset yang dijadikan dasar tidak sebanding, maka sukuk itu sama saja bersifat instrumen utang, yang berarti tidak lagi bersifat syariah.
“Jumlah underlying asset sukuk minimal harus sama dengan jumlah sukuk yang akan diterbitkan. Jika aset sukuk kurang dari jumlah penerbitan, maka prinsip syariah sukuk belum terpenuhi,” demikian penegasan BPK.
Atas permasalahan tersebut BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan memutakhirkan nilai barang milik negara yang menjadi underlying asset penerbitan sukuk, melakukan pemutakhiran nilai, dan mengidentifikasikan aset yang terindikasi double underlying. (Hms)