JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan Pendapat kepada pemerintah terkait penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPK menyampaikan Pendapat karena permasalahan dalam penyelenggaraan JKN yang ditemukan selama pemeriksaan pada 2015-2019 belum terselesaikan hingga saat ini.
BPK berwenang memberikan Pendapat berdasarkan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. BPK memberikan pendapat terhadap permasalahan yang berulang dan masih belum terselesaikan dengan tujuan untuk menyelesaikannya demi perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Pendapat BPK terkait pengelolaan atas penyelenggaraan program JKN mencakup aspek kepesertaan, pelayanan, dan pendanaan. Secara keseluruhan ada 14 poin Pendapat yang disampaikan BPK.
Terkait aspek kepesertaan, ada dua Pendapat yang disampaikan BPK. Pertama, BPK berpendapat pemerintah harus segera mewujudkan data tunggal peserta program JKN yang valid dan real time, antara lain dengan melakukan integrasi sistem data base kepesertaan program JKN dengan sistem data base kementerian/lembaga/instansi lain.
Data kepesertaan program JKN merupakan produk BPJS Kesehatan yang seharusnya diintegrasikan dengan data milik Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Badan Pusat Statistik, dan pemerintah daerah. Pengelolaan yang baik atas data kepesertaan tersebut merupakan modal dalam penyelenggaraan program JKN yang baik pula.
Hingga saat ini, sistem data base kepesertaan program JKN belum terintegrasi dengan sistem data base kementerian/lembaga/instansi lain. Hal ini mengakibatkan data kepesertaan program JKN belum disajikan secara akurat dan real time.
BPJS Kesehatan telah berupaya memperkuat berbagai platform dalam pengelolaan data kepesertaan, termasuk melakukan pertukaran data (bridging) dan penandatanganan MoU dengan Kemendagri. Namun, upaya tersebut belum dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Kondisi ini memaksa BPJS Kesehatan harus melakukan pemadanan dan cleansing data kepesertaan secara terus menerus.
Upaya tersebut sangat menyita sumber daya, namun belum menunjukkan hasil yang optimal. Hasil pemeriksaan BPK tahun 2019 masih menemukan permasalahan, antara lain per 31 Desember 2019 ditemukan sebanyak 9.858.142 peserta aktif dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak valid (tidak ada data/NIK kosong, NIK bukan karakter numerik, dan tidak memiliki jumlah karakter sebanyak 16 digit). Kemudian, sebanyak 8.441 peserta aktif memiliki NIK yang sama.
Data kepesertaan Program JKN juga sangat tergantung pada dinamika perubahan kependudukan di masyarakat. Namun, sistem data base kepesertaan Program JKN juga belum mampu merespons dinamika perubahan kependudukan secara real time.
Selain memberikan Pendapat untuk mengintegrasikan sistem data base kepesertaan program JKN, BPK juga berpendapat bahwa pemerintah harus segera mewujudkan pencapaian target Universal Health Coverage (UHC) dengan melakukan koordinasi kelembagaan dalam penyempurnaan/penyusunan peraturan dengan memasukkan kriteria identitas kepesertaan program JKN sebagai syarat dalam pengurusan pelayanan publik, termasuk layanan perbankan.
Seperti diketahui, RPJMN 2015-2019 menetapkan target minimal 95 persen dari penduduk Indonesia menjadi peserta program JKN. Namun sampai dengan 31 Desember 2019, dari total penduduk Indonesia sebanyak 266.911.900 jiwa (BPS, 2020), baru sebanyak 224.149.019 atau sebesar 83,98 persen yang terdaftar sebagai peserta program JKN. Hal ini menunjukkan bahwa target RPJMN 2015-2019 belum tercapai
Untuk mencapai target UHC, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan PP Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif, pemerintah telah mengatur pemberian sanksi untuk tidak diberikan pelayanan publik tertentu bagi setiap orang/pemberi kerja yang tidak mendaftarkan dirinya/anggota keluarganya/pekerjanya sebagai peserta program JKN. Pelayanan publik tersebut, antara lain izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Dalam pelaksanaannya, peraturan terkait pelayanan publik tertentu tersebut belum mengatur atau belum disesuaikan dengan memasukkan identitas kepesertaan program JKN sebagai syarat dalam pengurusan atas pelayanan publik tertentu.
Untuk memperkuat pengenaan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut, pemerintah juga perlu memperluas pengaturan pemberian sanksi untuk tidak diberikan pelayanan publik di bidang perbankan. Sampai dengan saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum mengatur kepesertaan program JKN sebagai salah satu syarat pelayanan di bidang perbankan, antara lain dalam pemberian kredit.