JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki mandat untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK tak hanya mengawal penggunaan uang negara, tapi juga penerimaan negara, termasuk penerimaan pajak.
Auditor Utama Keuangan Negara II BPK Laode Nusriadi mengatakan, sistem pajak pada dasarnya menganut self assesment, yakni wajib pajak (WP) menghitung dan melaporkan sendiri kewajibannya. Berdasarkan hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki data profil sejauh mana WP individu atau badan mengikuti aturan yang berlaku.
“Karena WP itu bisa dibuat profil, misalnya DJP itu mengetahui profil WP yang salah hitung ataupun tidak patuh. BPK mempelajari data yang dibuat oleh DJP dan secara sampling melihat hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan petugas pajak,” kata Laode saat berbincang dengan Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, dalam pemeriksaan dan sampling yang diambil oleh BPK, fokus BPK adalah pada konsistensi dari petugas pajak kepada WP berdasarkan aturan yang ada. Sebelum BPK melakukan pemeriksaan, akan ditentukan dahulu sektor usaha yang akan diperiksa, misalnya sektor usaha kelapa sawit atau batu bara.
Penentuan sektor usaha yang akan menjadi sampling pemeriksaan dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain isu yang berkembang di masyarakat atau analisis kenaikan atau penurunan penerimaan pajak pada sektor usaha tertentu. Setelah ditentukan sektor usaha yang akan diperiksa sebagai sampling, kemudian ditentukan Kantor Wilayah, Kantor Pelayanan Pajak, dan WP terkait berdasarkan data hasil pemeriksaan pajak yang sebelumnya telah dilakukan petugas pajak.
Selanjutnya BPK akan melihat apakah terdapat perlakukan yang sama untuk hal yang sama terhadap masing-masing WP tersebut antarkantor pelayanan pajak dengan memperhatikan aturan yang ada. Dengan kata lain, BPK melihat konsistensi perlakuan petugas pajak kepada WP.
“Misalnya WP ini melanggar suatu ketentuan, lalu wajib pajak lain melanggar ketentuan yang sama, BPK melihat apakah perlakuannya sama atau tidak oleh petugas pajak, dan kalau berbeda apa penyebabnya. Jadi tidak melihat individu-individu, tapi memperhatikan konsistensi di berbagai pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas pajak,” ujar Laode,
Laode menambahkan, DJP memiliki kantor yang tersebar di seluruh Indonesia dan memiliki risiko untuk tidak konsisten. “Misalnya, kantor pajak di Jakarta memperlakukan WP yang melanggar ketentuan A, apakah sama perlakuan petugas pajaknya dengan kantor pajak di Surabaya. Walau WP-nya beda dan petugas pajaknya berbeda juga, tetapi ketentuan yang dilanggar sama,” ujar dia.
Begitu juga yang terkait dengan restitusi pajak. BPK melihat konsistensi dari keputusan DJP terhadap WP. Terutama dalam hal menolak atau menyetujui restitusi pajak. Dalam LKPP 2019, BPK menemukan adanya 5 permasalahan terkait ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, DJP tidak segera memproses pembayaran restitusi pajak yang telah terbit surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (SKPKPP) senilai Rp11,62 triliun, belum menerbitkan SKPKPP senilai Rp72,86 miliar dan USD57.91 ribu serta terlambat menerbitkan SKPKPP senilai Rp6,07 miliar
DJP menyajikan utang kelebihan pembayaran pendapatan (UKPP) atau utang restitusi per 31 Desember 2019 dan 31 Desember 2018 (Audited) masing-masing sebesar sebesar Rp28,14 triliun dan Rp24,60 triliun.Atas kewajiban 2019 tersebut, DJP belum menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP), sehingga sampai dengan 31 Desember 2019, utang kelebihan pembayaran pajak tersebut belum dibayarkan kepada WP dan masih tercatat sebagai penerimaan pajak tahun 2019.