JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggunakan pendekatan risiko atau risk based audit dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan (LK) tahun anggaran 2020.
Melalui pendekatan tersebut, pemeriksa akan melakukan penilaian dan pengujian secara mendalam pada akun-akun berisiko tinggi agar diperoleh keyakinan yang memadai dalam penentuan opini mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan.
Pemeriksaan dengan pendekatan berbasis risiko telah disampaikan para pimpinan BPK dalam kegiatan entry meeting dengan para entitas. Ketua BPK Agung Firman Sampurna juga telah menekankan hal tersebut kepada para pemeriksa BPK dalam kegiatan workshop pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL), dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) pada awal Januari 2021.
Ketua BPK dalam kesempatan tersebut meminta para pemeriksa melakukan identifikasi risiko secara mendalam atas setiap kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka menangani pandemi Covid-19. Ketua BPK mengatakan, identifikasi dilakukan baik terhadap risiko dalam penyajian LKPP, LKKL, LKBUN, maupun risiko kecurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan masing-masing kebijakan.
“Tim pemeriksa BPK perlu mengembangkan strategi dan prosedur pemeriksaan yang cukup atas setiap risiko yang teridentifikasi, termasuk dengan mengoptimalkan teknologi informasi dalam proses pemeriksaan,” ungkap Ketua BPK dalam pengarahannya kala itu.
Tim pemeriksa BPK perlu mengembangkan strategi dan prosedur pemeriksaan yang cukup atas setiap risiko yang teridentifikasi, termasuk dengan mengoptimalkan teknologi informasi dalam proses pemeriksaan.
Auditor Utama Keuangan Negara V BPK Akhsanul Khaq saat diwawancarai Warta Pemeriksa beberapa waktu lalu mengatakan, risiko meningkat seiring adanya kebijakan percepatan belanja di tengah pandemi Covid-19 oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam hal penanganan Covid-19, kata dia, percepatan salah satunya dilakukan dengan adanya penunjukan langsung untuk pengadaan barang dan jasa.
Akhsanul mengatakan, BPK menelisik apakah perusahaan yang ditunjuk memiliki kompetensi dalam barang dan jasa. “Karena, bisa saja perusahaan tersebut tak memiliki kompetensi, sehingga ada risiko bahwa barang dan jasa yang disediakan tidak sesuai dari sisi kuantitas dan kualitasnya,” kata Akhsanul.
Selama ini, ucap dia, risiko-risiko pada LKPD lebih banyak terdapat pada akun belanja modal dan belanja barang. Permasalahan yang sering ditemukan BPK adalah mengenai ketidaksesuaian kualitas maupun spesifikasi dari barang dan jasa.
“Pada masa pandemi ini, tentu risiko-risiko yang ada semakin bertambah. Akun-akun berisiko yang perlu diperhatikan adalah bantuan belanja sosial, belanja hibah, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Ini yang kita anggap dalam kondisi sekarang adalah akun-akun yang berisiko,” ujar dia.