JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – BPK kini menjadikan kemandirian fiskal daerah sebagai bagian dari kecukupan pengungkapan informasi di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Tujuannya agar dapat menjadi perhatian bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam menganalisis hubungan kemandirian fiskal daerah dengan fungsi otonomi daerah maupun pelayanan publik di daerah. Reviu ini dilakukan BPK sehubungan dengan otonomi daerah yang telah berjalan lebih dari 20 tahun.
Oleh karena itu, BPK berinisiatif melakukan perhitungan Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) Tahun Anggaran 2018 dan 2019 sebagai bagian dari reviu kemandirian fiskal. Nilai IKF berkisar antara angka 0-1. Nilai IKF 0 berarti semua belanja dibiayai dengan dana transfer dan tidak terdapat peranan pendapatan asli daerah (PAD). Sedangkan nilai IKF 1 berarti semua belanja dapat dibiayai dengan PAD dan tidak terdapat dana transfer.
Semakin rendah nilai IKF, maka semakin belum mandirinya fiskal pemerintah daerah. Sebaliknya, semakin tinggi nilai IKF, maka semakin tinggi kemandirian fiskal suatu daerah. Kemandirian fiskal dikelompokkan ke dalam kategori “Belum Mandiri, “Menuju Kemandirian”, “Mandiri”, dan “Sangat Mandiri”.
Berdasarkan Laporan Hasil Reviu atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2018 dan 2019, sebagian besar pemerintah daerah belum mandiri. Dari 542 pemerintah daerah, untuk tingkat nasional hanya satu daerah yang berhasil mencapai level “Sangat Mandiri”, yakni kabupaten Badung di Provinsi Bali dengan IKF mencapai 0,8347, yang berarti 83,47 persen belanja daerah didanai oleh pendapatan yang dihasilkannya sendiri. Jumlah pemerintah kabupaten/kota yang belum mandiri sebanyak 471 dari 508 kabupaten/kota pada tahun 2018. Jumlah itu turun menjadi 458 dari 497 kabupaten/kota pada 2019.