JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengungkap sejumlah kecurangan di sektor perbankan. Kejahatan dalam industri keuangan tersebut memiliki berbagai macam modus operandi.
Hal itu menjadi topik bahasan Knowledge Sharing Session (KSS) yang digelar Auditorat Utama Investigasi (AUI) bersama Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) VII BPK pada Jumat (6/8). Dengan mengusung tema “Modus Operandi Kejahatan Perbankan: Tinjauan dalam Pemeriksaan”, forum tersebut berupaya membagikan pengalaman dan pengetahuan terkait modus operandi kejahatan perbankan termasuk di bank BUMN atau BUMD.
Kepala Auditorat Investigasi Kekayaan Negara/Daerah yang Dipisahkan (IKND) AUI BPK Hasby Ashidiqi membagikan sejumlah modus operandi dalam kejahatan perbankan agar bisa diwaspadai oleh pemeriksa. “Kasus yang ada berkaitan dengan kas, efek-efek, kredit yang diberikan, tabungan, dan deposito berjangka,” ungkapnya.
Untuk kasus terkait kas, Hasby mengisahkan terdapat modus pengambilan uang di ruang khazanah bank dan setoran tunai tanpa ada fisik uang. Menurut Hasby, kasus seperti ini terjadi di cabang terpencil. Dalam kasus itu, peran kepala cabang juga sangat menentukan.
Dia menyampaikan, dalam operasional perbankan, uang disimpan dalam khazanah untuk kas harian dan kas besar. Kasus ini terjadi di khazanah kecil atau tempat penyimpanan uang harian bank.
Berdasarkan aturan yang berlaku, setiap pengambilan uang di khazanah harus disertai surat permohonan, berita serah terima, dan disetujui oleh kepala cabang. “Selain itu, setiap hari harus ada cek fisik atau stock opname setiap pagi dan sore. Itu wajib dalam prosedur,” ungkapnya.
Akan tetapi, dalam kasus tersebut, kepala cabang memerintahkan account officer untuk mengambil uang di khazanah tanpa ada surat permohonan. Ada pula kepala cabang yang memerintahkan head teller untuk melakukan setoran tunai ke rekening kepala cabang dan saudara-saudaranya. “Yang namanya setoran tunai kan harusnya ada fisik uangnya. Nah, ini tidak ada,” ungkapnya.
Hal ini diperparah dengan tidak adanya stock opname persediaan uang bank setiap dua kali sehari. Laporan tersebut tidak disampaikan secara tertib ke cabang utama atau pusat.
Kasus tersebut, ujar Hasby, kemudian terungkap ketika kepala cabang diganti. Kepala cabang yang menggantikan kemudian melakukan stock opname dan diketahui ada kehilangan senilai beberapa miliar. “Akhirnya ini masuk ke proses hukum,” ungkapnya.
Modus lain terkait kas yang diungkapkan Hasby adalah pengambilan uang mesin ATM oleh petugas koordinator area. Selain itu, modus kejahatan lain melalui efek antara lain investasi pada medium term notes (MTN) dengan mengubah pedoman yang kemudian kerugiannya ditutupi dengan rekayasa investasi reksa dana.
Hasby juga membagikan sejumlah modus kejahatan perbankan dalam pemberian kredit kepada debitur. Dia mengungkapkan, kredit topengan atau pemberian kredit dengan menggunakan nama orang lain sebagai debitur adalah satu modus yang kerap muncul. Selain itu, ada pula modus pemberian kredit modal kerja standby loan kepada debitur yang bukan pelaksana pekerjaan proyek dan proses pemberian kreditnya tidak sesuai pedoman.
Hal lainnya, adanya persekongkolan oknum pejabat bank, debitur, dan makelar untuk menggunakan deposito milik orang sebagai agunan. Kemudian dalam pelaksanaan kredit, deposito tersebut dicairkan.
Sementara itu, modus kejahatan perbankan melalui tabungan dan deposito antara lain dilakukan dengan penerbitan dan aktivasi ATM tanpa sepengetahuan nasabah. Ada pula penarikan rekening nasabah/pencairan deposito tanpa sepengetahuan nasabah dan penawaran program tabungan/deposito di luar program resmi bank yang kemudian dana nasabah tersebut justru ditarik oleh oknum pejabat bank.
Plt Kasubaud VII.D.I BPK Bagas Khoiruddin menyampaikan, penentuan sampel sangat penting dalam pemeriksaan di sektor perbankan. Menurutnya, dengan penentuan sampel yang memadai, maka pemeriksaan bisa mengerucut ke arah yang memang terindikasi ada permasalahan.
Dalam forum tersebut, Bagas berbagi sejumlah red flag yang perlu dideteksi. Dia mencontohkan, adanya tunggakan, penurunan kolektibilitas, dan munculnya kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dalam waktu cepat dapat menjadi indikator yang perlu diwaspadai oleh pemeriksa.
“Kita bisa melakukan klastering dari sampel yang kita dapat. Kita kelompokkan mana debitur yang mengalami NPL dalam waktu cepat,” ujarnya.
Berdasarkan pengalamannya, dari hasil pengelompokkan tersebut, ada kasus yang terjadi mengumpul dalam satu cabang atau bahkan satu unit bank. Pemeriksa juga bisa mengerucutkan kembali kredit bermasalah tersebut dengan mengelompokkannya berdasarkan pendamping debitur atau relationship manager (RM).
“Apakah dari RM itu memang ada banyak mengalami penurunan NPL apalagi terjadi dalam waktu yang sama dan terlihat nilai outstanding debiturnya cenderung sama, itu perlu kita waspadai,” ungkapnya.
Bagas mengungkapkan pernah menemukan adanya modus kredit topengan. Hal itu dilakukan oleh oknum kepala cabang sebuah bank untuk lebih cepat memenuhi target penyaluran kredit. Dia mengatakan, modus tersebut terjadi pada kredit bersubsidi. Dengan adanya tingkat bunga yang lebih rendah, kredit bersubsidi sangat diminati oleh pelaku usaha.
“Kalau dia bisa membuat kredit topengan dengan satu debitur Rp100 juta dan dia punya 400 debitur maka dia bisa mendapatkan Rp40 miliar dengan nilai bunga yang jauh berbeda apabila dia mendapatkan kredit yang sifatnya untuk segmen bisnis menengah,” ungkapnya.