Nyoman Adhi Suryadnyana telah resmi mengemban jabatan sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2021-2026. Nyoman yang sebelumnya berkarier di Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan merasa bangga bisa bergabung dengan BPK. Menurutnya, BPK memiliki peran signifikan dalam menentukan arah pembangunan Indonesia ke depan.
Dalam wawancara dengan Warta Pemeriksa, Nyoman membagikan sejumlah strategi yang dia siapkan bersama pimpinan BPK lainnya. Di antaranya mendorong penggunaan big data analytic untuk menunjang pemeriksaan BPK. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana kisah karier Bapak hingga akhirnya bisa menjadi Anggota BPK?
Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Almarhum bapak saya meninggal pada tahun 1982 dan berdinas terakhir sebagai kepala Perhutani. Ibu saya single parent membesarkan anak-anaknya dan mengabdi sebagai bidan yang melayani masyarakat pedesaan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Jadi ketika lulus SMA, yang terlintas dalam benak saya bagaimana saya bisa diterima di perguruan tinggi dengan ikatan dinas. Selain tanpa biaya, bisa langsung bekerja saat lulus. Itu sebabnya, begitu lulus SMA, saya berniat mendaftar ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
Saya cukup beruntung, pada 1994 berhasil lulus tes dan diterima di Program Diploma (Prodip) Bea Cukai STAN dan lulus tahun 1997. Sejak itu, saya mulai meniti karier di Bea Cukai. Perjalanan karier saya dimulai dari kantor pusat di bidang sumber daya manusia (SDM). Kemudian, saya ditugaskan di bidang intelijen pada Kantor Pelayanan Bea Cukai Tanjung Priok.
Dari sana, kemudian saya mengikuti banyak pendidikan, terutama di bidang intelijen. Mulai dari intelijen taktis, analis, spesialis, dan strategis, serta diklat terkait manajemen risiko dan intelijen di dalam maupun luar negeri. Selain itu saya juga melanjutkan pendidikan formal di jenjang S1 dan S2 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Karier saya di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berkisar di bidang intelijen kepabeanan dan cukai. Sampai akhirnya, pada 2015, saya dipromosikan menjadi kepala Kantor Bea Cukai di Ternate, Maluku Utara. Nah, pada saat saya menempati posisi kepala kantor ini saya mulai menyadari ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh birokrat atau aparatur sipil negara (ASN) untuk kemajuan Indonesia.
Saat bertugas di Ternate, saya melihat rantai ekonomi di sana terganggu akibat adanya praktik tengkulak. Sebagai kepala Kantor Bea Cukai saya tergerak untuk menekan praktik ini dengan cara mendorong industri atau sumber ekonomi yang ada di sana agar melakukan penjualan atau ekspor secara langsung dari Ternate. Ekspor kita permudah dan pengusaha kita dorong membuat NPWP di Ternate dengan harapan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Ternate.
Ini bukan hal yang mudah. Seluruh pegawai Bea Cukai Ternate bekerja maksimal dan berhasil membuat terobosan dengan meluncurkan aplikasi logistik yang terintegrasi. Fungsi aplikasi itu menghubungkan kegiatan perdagangan antara Ternate, Manado, Bitung, dan Makassar serta melibatkan Balikpapan dan Banjarmasin. Kita tentu tahu, sumber ikan ada di Ternate.
Berkat terobosan ini, Ternate mampu melakukan ekspor pertama secara langsung. Dan itu terus berkelanjutan. Karena ketika saya sudah pindah pun, dalam waktu satu bulan sudah ada ekspor sebanyak 30 kontainer. Itu jumlah yang menurut saya luar biasa untuk lingkup Ternate. Memang tantangan utamanya adalah menyamakan persepsi dan pemahaman masyarakat serta pihak-pihak yang memiliki keterkaitan, baik itu dari sisi pemerintah maupun dunia usaha.
Dari Ternate, kemudian saya pindah menjadi kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado pada 2017. Saya bertugas di Manado sekitar dua tahun, di mana Manado sedang mengalami peningkatan frekuensi penerbangan internasional. Ekonomi Sulawesi Utara saat itu pun tengah meningkat drastis, utamanya didorong oleh sektor pariwisata.
Saat di Manado, saya menduplikasi terobosan yang diterapkan dan terbukti sukses di Ternate. Di luar itu, kami mencoba menelaah bagaimana mengelola peluang sektor pariwisata ini. Dengan banyaknya turis yang datang berkunjung kita memastikan mereka menggunakan sistem pembayaran yang berlaku di Indonesia. Kami mengajak industri perhotelan, restoran, serta toko suvenir untuk saling mendukung hal itu agar memberikan dampak optimal terhadap ekonomi Indonesia.
Selain itu, saya juga melakukan pembenahan di sektor cukai, terkait pembinaan dan penegakan hukum terhadap produksi dan penjualan minuman mengandung etil alkohol (MMEA). Hal ini saya lakukan melalui strategi menekan peredaran MMEA ilegal yang marak terjadi di Manado dan mendorong mereka untuk melakukan produksi secara legal dengan melakukan fasilitasi suplai bahan baku dengan pihak pemda terkait.
Dari Manado, kemudian saya pindah ke Kantor Wilayah Bea Cukai Sulawesi Bagian Selatan di Makassar, Sulawesi Selatan. Di sini saya mendorong untuk terbentuknya Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT). Melalui KIHT, pabrikan rokok dengan modal yang terbatas (UKM) memperoleh kemudahan dalam memproduksi barang kena cukai (BKC) berupa hasil tembakau melalui penyediaan fasilitas mesin produksi yang disediakan melalui kerja sama Dinas Perindustrian dan pihak investor swasta.
Setiap melaksanakan tour of duty ke daerah-daerah saya selalu mengusung pepatah, “Jangan pernah bertanya apa yang sudah negara berikan untuk kita, tapi justru kita tanyakan apa yang sudah kita berikan untuk negara”.
Dari pengalaman memimpin Kantor Bea Cukai Ternate dan Manado itu, saya merasa lega dan puas. Setidaknya, di Ternate dan Manado saya berhasil memimpin tim dan berhasil membuat terobosan untuk meningkatkan potensi ekonomi. Tapi di sisi lain, entah mengapa, setiap kali ada pemeriksaan dari BPK, kantor Bea Cukai yang saya pimpin selalu jadi sasaran uji petik pemeriksaan BPK.
Dan setiap diperiksa BPK, lutut saya itu serasa gemetar. Saya bukan auditor sehingga setiap kali diperiksa selalu muncul kekhawatiran, jangan-jangan ada salah dalam pekerjaan kita. Tapi, ternyata setelah dijalani, saya justru berterima kasih dengan adanya pemeriksaan BPK itu.
Sebab, berkat kantor yang saya pimpin jadi sasaran uji petik pemeriksaan BPK, saya bisa mendaftarkan diri menjadi anggota BPK. Kedudukan saya dalam jabatan sebagai kepala Kantor Bea Cukai Manado sekaligus sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) telah diaudit oleh BPK dengan hasil final. Dalam arti semua temuan atas hasil pemeriksaan telah ditindaklanjuti dengan tuntas. Sehingga saat saya mendaftar sebagai anggota BPK, saya benar-benar yakin tidak memiliki beban masa lalu dan tidak memiliki potensi conflict of interest.
Apa yang membuat Bapak ingin menjadi Anggota BPK?
Berdasar pengalaman saya selama berkarier di Bea Cukai, saya melihat betapa pentingnya peran BPK. Dalam suatu negara itu ada hubungan yang namanya principal agent theory. Artinya, rakyat sebagai pemilik kekayaan negara ini mendelegasikan kewenangannya kepada wakil rakyat. Kemudian, wakil rakyat meminta kepada sebagian kecil masyarakat untuk mengelola kekayaan ini, dan itulah yang namanya pemerintah.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang akan memastikan laporan pertanggungjawaban kinerja pemerintah kepada pemilik kepentingan, yaitu rakyat? Nah, di situlah peran penting BPK.
BPK memiliki peran memastikan sistem tata negara ini berjalan. Dengan sekarang saya menjadi bagian dari BPK, saya akan berusaha membawa BPK menjadi institusi yang betul-betul profesional dan kredibel.
Dengan demikian, BPK dapat menegaskan independensi dan memberikan penilaian secara profesional. Benar katakan benar. Salah katakan salah. Saya yakin, negara ini akan mampu mengoptimalkan sumber dayanya dan menjadi negara yang besar.
Pendekatan apa yang Bapak siapkan untuk menjadi pimpinan di BPK ke depan?
Sebetulnya, kita perlu melihat apa sumber daya yang paling penting dalam sebuah institusi. Menurut saya, sumber daya terpenting itu adalah sumber daya manusia (SDM). Ini tentunya berkaitan dengan soft skill dan hard skill. Sebaik apapun sistem, teknologi, atau peraturan di suatu institusi, akan dijalankan oleh manusia juga.
Dalam pendekatan ini, menurut saya seorang pemimpin perlu menerapkan, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Terkadang kita banyak berpikir filosofi asing padahal leluhur kita sudah menciptakan filosofi yang luar biasa.
Ing ngarso sung tulodo artinya kita sebagai pemimpin harus memberikan contoh. Kalau kita menginginkan anak buah masuk kantor, ya kita juga harus masuk kantor. Kalau kita ingin anak buah kita berpikiran baik terhadap sistem dan cara kerja yang ada, maka kita harus melakukan hal yang sama.
Seorang teladan itu jauh lebih berarti dibandingkan menyuruh orang belajar. Saya juga yakin SDM yang ada di BPK ini adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi unggul.
Umumnya lulusan terbaik dari STAN itu masuk ke BPK. Penerimaan pegawai dari lulusan sarjana yang terbaik juga masuk ke BPK. Artinya, BPK ini memang sudah dikaruniai SDM yang unggul. Sehingga, BPK harus menjadi instansi yang unggul, tidak hanya di Indonesia, bahkan untuk level internasional.
Kemudian, ing madyo mangun karso. Kita harus memiliki empati terhadap karyawan kita. Ada kalanya kita mengajak lembur karyawan tapi kita juga harus mau memberikan izin apabila dia sakit.
Apabila karyawan kita mampu melihat suatu persoalan dari sisi lain, kita juga tidak bisa langsung menolak pendapatnya. Harus diingat, kita sebagai pemimpin mungkin lebih berpengalaman. Namun, kita belum tentu lebih pintar, demikian pula sebaliknya. Apalagi dunia ini terus berkembang dan berubah dengan cepat.
Kemudian, tut wuri handayani. Kita harus mengayomi. Ketika anak buah melakukan kesalahan, saya kira itu hal yang manusiawi. Hal yang tidak boleh itu apabila kesalahan terjadi berulang-ulang atau bahkan sistemik.
Dalam pemeriksaan juga begitu. Apabila dalam suatu pemeriksaan, kesalahan entitas itu terus menerus terjadi, maka bisa jadi BPK juga yang salah. Dalam pandangan saya, BPK harus bisa menjadi lembaga yang mempunyai fungsi preventif, bukan hanya represif.
Kemudian, setelah mengidentifikasi sumber daya yang paling utama yaitu SDM, kita harus meningkatkan komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan. BPK harus pintar menjalin kerja sama dan menempatkan auditee atau rekanan kita dalam posisi sejajar. Kita tidak boleh jadi tuan, tapi dia juga tidak boleh menjadi tuan. Semua harus sejajar dengan peran masing-masing. Ini dapat terjadi kalau ada komunikasi yang baik.
Setelah komunikasi, saya ingin mengedepankan peran teknologi informasi (TI). Saya ingin mempertajam penerapan big data analytic. Hal ini sudah dilakukan BPK tapi perlu lebih dipertajam, karena beberapa lembaga lain telah mengaplikasikan hal tersebut secara lebih optimal.
Dalam benak saya, untuk optimalisasi peran big data analytic itu bukan hanya terkait soal otomasi saja, tapi di situ ada empat hal penting lainnya. Pertama, soal simplifikasi peraturan. Kemudian, standardisasi. Kalau kita mau membuat seluruh auditee kita laporannya masuk ke BPK dengan baik, artinya harus terstandar. Jadi tidak perlu kerja dua kali karena sistemnya sama.
BPK yang membentuk standarnya. Dengan begitu, data yang kita terima akan sesuai standar. Baik si pengirim maupun si pembaca sama-sama bisa memahami data tersebut.
Kemudian yang ketiga adalah integrasi. Misalnya, kita mendorong sistem pembayaran pemerintah daerah tidak boleh lagi manual. Harus lewat bank dan BPK bisa mengaksesnya secara langsung. Sehingga, ke depannya pemeriksaan tidak butuh tenaga pemeriksa yang banyak tapi dapat terlaksana dengan baik dan meliputi baik itu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT.
Menurut saya, BPK memang harus melakukan pemeriksaan kinerja lebih banyak. Outcome harus betul-betul terukur apakah sudah tercapai atau belum. Kalau outcome tidak optimal mungkin bisa diketahui ternyata di sana ada fraud. Kalau pemeriksaan keuangan saja, fraud mendalam ini sulit untuk ditemukan.
Yang keempat, baru kita lakukan otomasi. Dalam pengelolaan organisasi ke depan, harapan saya adalah menjadikan big data analytic sebagai ujung tombak dalam sistem pemeriksaan di BPK.
BPK sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara harusnya dapat menentukan arsitektur keuangan negara. Semua orang yang membutuhkan data keuangan negara pun datang ke BPK. Bukan BPK yang harus meminta ke sana ke mari. Rakyat Indonesia sebagai prinsipal negara ini akan semakin yakin bahwa BPK adalah lembaga yang betul-betul mampu memberikan penilaian profesional.
Bapak saat ini dipercaya untuk mengemban tugas sebagai Anggota VI BPK yang membawahi entitas antara lain pemerintah daerah di wilayah tengah dan timur serta Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apa permasalahan yang sudah Bapak petakan dari entitas tersebut?
Menurut saya menjadi pimpinan di Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) VI BPK merupakan suatu hal yang sangat menantang. Karena wajah dan masa depan suatu negara itu ditentukan oleh dua hal, yaitu kualitas kesehatan dan kualitas pendidikan.
Berbagai kajian lembaga internasional menyatakan, kunci sukses suatu negara untuk maju itu adalah kesehatan dan pendidikan. Kesejahteraan baru akan dicapai setelah itu dan kemudian dilanjutkan dengan pemerataan. Tapi, kunci utamanya adalah kesehatan dan pendidikan.
Oleh karena itu, saya sangat beruntung membawahi dua sektor ini. Artinya, saya bisa mengambil peran yang menjadi esensi terhadap kemajuan Indonesia ke depan. Saya yakin semua orang memiliki mimpi yang sama, yaitu menjadi bagian yang penting dalam suatu dinamika zaman. Kodrat manusia memang seperti itu.
Saya pun berterima kasih kepada ketua BPK, wakil ketua BPK, dan seluruh anggota BPK lainnya yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk memimpin AKN VI. Saya memiliki kesempatan untuk turut menentukan Indonesia akan maju atau tidak ke depannya. Tantangannya di situ.
Posisi ini makin penting dengan membawahi wilayah tengah dan timur. Tapi saya selalu percaya dengan SDM saya. Kepala perwakilan di bawah naungan saya, pasti akan menjadi mata dan telinga serta menjadi ujung tombak saya di daerah. Mereka akan mengedukasi entitas untuk bisa memajukan daerahnya masing-masing.
Saat ini, saya percaya seratus persen dengan semua kepala perwakilan, kepala auditorat, terutama Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama) di AKN VI, pasti bisa memberikan kontribusi bagaimana cara Indonesia wilayah tengah dan timur ini bisa menyejajarkan diri dengan wilayah barat.
BPK telah memulai langkah menjadi SAI yang memiliki peran foresight. Bagaimana pandangan Bapak terkait hal ini?
Secara umum, foresight itu menurut saya sangat penting. Kita harus mampu membayangkan masa depan itu seperti apa? Hambatan dan kendalanya apa? Mitigasi risikonya seperti apa? Alternatif solusinya apa? Selain itu, apa persiapan kita?
Foresight itu adalah sebuah kebijakan untuk mengantisipasi perubahan pada masa depan. Kita perlu mengantisipasi hal yang belum terjadi dengan mempersiapkan diri.
Tentunya bagi BPK, kerangka berpikir kita juga harus disamakan. Selain kita melakukan pemeriksaan, kita juga harus memperkuat SDM kita. Kita harus memupuk komunikasi internal yang baik kemudian komunikasi eksternal harus kita perkuat. Peran TI juga harus terus dikembangkan.
Dalam foresight kita harus bisa melihat apa saja perkembangan yang bisa terjadi ke depan. Melalui manajemen risiko, kita juga perlu memetakan titik rawan yang berpotensi dapat terjadi ke depan.
Kita juga perlu memetakan pergerakan dunia ke depan. Seperti, misalnya, terkait isu perubahan iklim. Pemeriksaan kinerja juga harus diperkuat. Tentunya, hal ini juga perlu strategi komunikasi yang baik. Menurut saya, dengan komunikasi yang baik kita bisa membuka tabir yang sebelumnya justru tertutupi.