Mengawal Potensi Penerimaan Negara dari Kegiatan Hulu Migas

by Admin 1

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan proyek, rantai suplai pengadaan rig, serta fasilitas floating production unit (FPU), floating production storage and offloading (FPSO), floating storage and offloading (FSO), dan fasilitas pendukung lainnya dari tahun 2018 hingga semester I 2020. Pemeriksaan itu dilakukan di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan instansi terkait lainnya di Jakarta, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau.

Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk menilai kepatuhan SKK Migas dan KKKS. Khususnya terhadap kontrak kerja sama (KKS), kontrak/perjanjian, dan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan proyek-proyek dan rantai suplai pengadaan rig serta fasilitas FPU, FPSO, FSO, dan fasilitas pendukung lainnya.

“BPK merekomendasikan kepada SKK Migas agar menyusun kajian harga wajar yang lebih cermat dalam memberikan persetujuan pembiayaan kepada KKKS dengan melengkapi dokumen analisis yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan. “

Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang disampaikan pada Februari 2022, BPK menjelaskan, SKK Migas dan KKKS bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, serta pelaporan atas proyek-proyek dan rantai suplai pengadaan rig serta fasilitas FPU, FPSO, FSO, dan fasilitas pendukung lainnya. Hal ini agar sesuai dengan Undang-Undang Pajak, Peraturan Menteri ESDM, KKS atau joint of agreement (JoA) serta amendemennya, PTK Nomor 007/PTK/VI/2004, PTK Nomor 007-Revisi-1/PTK/IX/2009, PTK Nomor 007-Revisi-2/PTK/IX/2011, dan PTK Nomor 007-Revisi-3/PTK/IX/2015 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama, serta ketentuan terkait lainnya. Sehingga, bebas dari kesalahan yang material dan kecurangan.

BPK pun menyimpulkan bahwa keputusan sewa FPSO Karapan Armada Sterling (KAS) III pada KKKS HCML dan FPU Joko Tole pada KEI tidak sepenuhnya menguntungkan negara. Hal ini berkaitan dengan perencanaan dan proses pengadaan proyek dan pengadaan rantai suplai Hucky-CNOOC Madura Limited (HCML) dan Kangean Energy Indonesia (KEI).

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai kini atau present value (PV) biaya sewa FPSO KAS III dan FPU Joko Tole sampai dengan akhir kontrak lebih tinggi masing-masing sebesar 30,62 juta dolar AS dan 124,02 juta dolar AS jika dibandingkan dengan masing-masing nilai kini (PV) biaya dengan skema pembiayaan melalui beli/bangun sendiri. Selain itu, pilihan sewa menghilangkan kesempatan bagi negara untuk mempunyai aset kapal yang dapat digunakan kembali oleh KKKS HCML dan KKKS KEI ataupun KKKS lain.

Kondisi ini tidak sesuai dengan Pasal 3 huruf b Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi bertujuan meningkatkan pendapatan negara. Yaitu untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia.

Terkait permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada SKK Migas agar menyusun kajian harga wajar yang lebih cermat dalam memberikan persetujuan pembiayaan kepada KKKS dengan melengkapi dokumen analisis yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, dapat mendukung proses pengambilan keputusan.

Kemudian, BPK merekomendasikan kepada General Manager HCML dan Presiden KEI agar melakukan negosiasi kembali perjanjian pengadaan FPSO/FPU dengan pihak rekanan. Tujuannya, untuk menjamin terciptanya harga sewa yang wajar dan mempertimbangkan kepentingan negara (mempertimbangkan hasil perhitungan/kajian dari SKK Migas).

Diketahui juga bahwa SKK Migas dan KKKS masih belum sepenuhnya menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK hingga semester I 2020. Hal ini berdasarkan pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan (TLRHP) Pelaksanaan Proyek-Proyek dan Rantai Suplai Tahun 2017 dan 2018 di SKK Migas dan KKKS.

BPK pun menyampaikan, dari 118 rekomendasi senilai Rp 76,70 miliar dan 122,94 juta dolar AS yang sudah ditindaklanjuti, sudah sesuai dengan rekomendasi sebanyak 41, yakni senilai Rp 264,42 juta dan 95,54 juta dolar AS. Kemudian, tindak lanjut yang belum sesuai rekomendasi sebanyak 77 rekomendasi senilai Rp76,44 miliar dan 27,40 juta dolar AS.

You may also like