Oleh Muhammad Rafi Bakri, Pengelola Keuangan pada BPK Perwakilan Provinsi Jambi
Pemerintah Indonesia bersama dengan Asian Development Bank menyelenggarakan FGD Energy Transition Mechanism pada 17 Maret 2022. FGD ini berfokus pada pembahasan bagaimana pencapaian target Net Zero Emission (NZE) oleh Indonesia pada tahun 2060. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah Indonesia perlu melakukan transisi energi yang lebih adil dan terjangkau untuk mencapai pertumbuhan emisi nol. Pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan modal sendiri dan mencapai 41% apabila terdapat bantuan modal dari lembaga internasional pada tahun 2030.
Salah satu masalah terbesar bagi negara-negara di dunia untuk mewujudkan program ETM adalah trade-off antara pertumbuhan ekonomi dengan pengembangan sumber energi terbarukan. Hal ini disebabkan karena negara-negara di dunia termasuk Indonesia masih sangat mengandalkan energi tidak terbarukan seperti batu bara dalam menyokong kegiatan perekonomian. Berdasarkan data dari ADB, hampir 62% sumber pembangkit listrik di Indonesia bersumber dari batu bara. Jika transisi energi di Indonesia tidak dilakukan secara tepat, maka akan menyebabkan guncangan pada perekonomian.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia diperkirakan membutuhkan biaya sekitar USD 1 Triliun sampai tahun 2060. Biaya ini berkaitan dengan pembentukan energi terbarukan dan teknologi rendah emisi yang dapat menggantikan teknologi cofiring biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap. Pemerintah menargetkan pemberhentian 33 pembangkit listrik tenaga uap dengan total kapasitas sebesar 16,8 GW. Pemerintah juga perlu membangun pembangkit energi terbarukan secara masif hingga 700 GW untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga uap yang dihentikan tersebut.
Dengan dihadapkan kondisi kebutuhan dana yang sangat banyak, pemerintah perlu mengkaji berbagai metode dalam pembiayaan transisi energi ini. Salah satu terobosan yang dilakukan Kementerian Keuangan untuk mendukung program ini adalah membentuk Country Platform ETM melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). PT SMI bertanggungjawab dalam mengembangkan kerangka pembiayaan dan investasi untuk program ETM. PT SMI juga diberikan kewenangan untuk melakukan kerja sama dengan berbagai mitra institusi agar target pembiayaan dapat tercapai.
Mitra institusi yang dapat diajak kerja sama oleh PT SMI salah satunya adalah instansi hibah, seperti Bloomberg Philanthropies & ClimateWorks Foundation’s Global Energy Transition Initiative. Instansi tersebut juga sedang genjarnya memberikan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkan suntikan dana dalam membangun energi bersih dan terbarukan. Mereka telah menyiapkan dana sebesar US$ 242 juta untuk mengakselerasi negara-negara berkembang dalam mewujudkan penciptaan energi terbarukan yang bersumber dari panas matahari, angin, ataupun potensi lain. Negara yang telah menjalin kerja sama dengan dengan Bloomberg, yaitu Brazil, Nigeri, Afrika Selatan, Vietnam, dan beberapa negara lain. Negara-negara tersebut memiliki karakteristik lingkungan dan tantangan perubahan iklim yang sama dengan Indonesia sehingga cocok dijadikan benchmark.
Kedua, PT SMI dapat menjalin kerja sama dengan instansi pembiayaan seperti ADB, World Bank, Islamic Development Bank, Climate Investment Funds, HSBC, Standard Chartered, dan lainnya. Bedanya dengan hibah, instansi pembiayaan memberikan kesepakatan tertentu terkait dengan penggunaan dana tersebut kepada negara penerima pembiayaan. Eksekusi dari dana pembiayaan ini menjadi lebih terarah karena memiliki perjanjian di awal. Indonesia telah melakukan kesepakatan dengan Climate Investment Funds dengan total dana sebesar US$ 474 juta. Dana ini ditujukan kepada Indonesia untuk mempercepat penghentian 2 GW pembangkit listrik tenaga uap dan mengurangi sekitar 50 juta ton emisi gas rumah kaca pada 2030 serta 160 juta ton pada 2040.
Selain pendanaan, PT SMI juga menghadapi tantangan dalam hal pengetahuan teknis terkait energi terbarukan itu sendiri. PT SMI memerlukan ahli-ahli yang dapat mendukung terciptanya energi terbarukan. Untuk itu, PT SMI dapat bekerja sama dengan instansi pengetahuan dan teknis, seperti United States Agency for International Development, Climate Policy Initiative, United Nations Development Programee, dan lainnya. Dengan bantuan instansi tersebut, PT SMI dapat membuat target pembentukan energi terbarukan yang lebih rasional sehingga dapat menentukan jumlah dana yang tepat.
Dalam pembangunan infrastruktur ETM di Indonesia, pemerintah dapat memanfaatkan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) untuk melakukan penjaminan risiko dari kegiatan ETM. Melalui PT PII, penjaminan pemerintah utamanya disediakan dengan tujuan untuk meningkatkan kepastian dalam mencapai Perolehan Pembiayaan (Financial Close) mengingat tingginya risiko ketidapastian dalam pembangunan infrastruktur ETM. Melalui peningkatan kelayakan kredit atau bankability dari proyek-proyek ETM, mitra-mitra dari PT SMI dapat menyalurkan dana lebih banyak untuk mendukung proyek ETM.
Untuk meningkatkan kredibilitas dari PT SMI, PT PII dapat melakukan berbagai skema penjaminan infrastruktur ETM, seperti skema re-guarantee dan co-guarantee. Re-guarantee atau yang dikenal dengan reasuransi merupakan skema penjaminan ketika PT PII mendistribusikan sebagian dari eksposur risiko yang terakumulasi dalam portofolio penjaminannya ke satu atau kumpulan perusahaan reasuransi. Sebagai imbalan atas penanggulangan resiko, PT PII membayar premi tertentu proporsional terhadap risiko yang diberikan kepada reasuradur. Skema re-guarantee ini sangat cocok ketika PT PII menghadapi eksposur risiko yang melebihi limit kapasitas pinjaman sehingga dapat berfungsi sebagai capital relief.
Skema re-guarantee berhasil digunakan oleh African Guarantee Fund (AGF). Pada tahun 2018, gearing ratio dari AGF sudah hampir mendekati limit sebesar 3,75x dari ekuitas. Untuk itu, AGF melakukan perjanjian re-guarantee dengan Guarant Co yang memiliki batas gearing ratio lebih tinggi, yaitu 5x. Setelah dilakukan perjanjian, AGF hanya perlu menanggung risiko 37,5% dari total seharusnya dan menekan kebutuhan modal menjadi hanya Rp100 miliar (63% dari kebutuhan semula).
Selain re-guarantee, skema penjaminan yang dilakukan oleh PT PII adalah penjaminan bersama (Co-Guarante). Co-guarantee adalah instrumen pembagian risiko demi menekan risiko kapital yang dilakukan bersamaan dengan satu atau lebih mitra penjamin untuk suatu penjaminan proyek sehingga suatu penjamin dapat memiliki kemampuan penjaminan lebih tinggi tanpa adanya penambahan modal. Perlu diperhatikan bahwa co-guarantee tidak mengurangi beban risiko dalam pembukuan, melainkan akan mengurangi eksposur risiko dengan adanya pembagian yang disepakati pada perjanian di awal.
Pembentukan guarantee fund dapat dipelajari setidaknya dari Danajamin (Malaysia). Per tahun 2021, aset yang dimiliki Danajamin diinvestasikan dalam obligasi sebesar 28,4% (Rp2,5 triliun), 64,8% (Rp5,7 triliun) ke deposito dan 6,8% (Rp600 juta) ke aset lain-lain. Sekitar Rp 6,2 triliun atau 70% dari fund asuransi Danajamin disimpan dalam bentuk likuid untuk mengakomodasi klaim yang mungkin timbul karena pelanggaran ketentuan penjaminan seperti gagal bayar. Salah satu penggunaan dari guanrantee fund Danajamin adalah untuk mendukung Green Technology Financing Scheme 3.0.
Berdasarkan penjabaran di atas, kombinasi antara PT SMI dan PT PII dapat menjadi potensi yang sangat baik dalam mendukung program ETM dan mewujudkan NZE tahun 2060. PT SMI sebagai country platform berfungsi sebagai pioner utama dalam menatausahakan pendaan dari proyek ETM. PT PII mendukung program dari PT SMI dengan cara memberikan jaminan pembangunan infrastruktur ETM sehingga dapat meminimalisasikan risiko proyek. Dengan demikian, mitra-mitra PT SMI merasa lebih aman untuk ikut berinvestasi dalam proyek PT SMI tersebut.