JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus mengawal program pemerintah dalam mempercepat penurunan prevalensi stunting. Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menemukan sejumlah permasalahan dan memberikan beberapa rekomendasi terhadap pemerintah untuk memperbaiki program penurunan stunting.
Pemeriksaan kinerja ini dilaksanakan untuk program penurunan prevalensi stunting tahun 2022 dan 2023 yang dilaksanakan pada 3 objek pemeriksaan (obrik) di pemerintah pusat, yaitu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta pada 44 obrik di pemda yang terdiri atas 40 pemerintah kabupaten, 3 pemerintah kota, dan 1 pemerintah provinsi beserta instansi terkait lainnya
“Hasil pemeriksaan menyimpulkan masih terdapat permasalahan yang apabila tidak segera diperbaiki, maka akan memengaruhi efektivitas upaya Kemenkes, BKKBN, dukungan BPOM, dan pemda dalam percepatan penurunan prevalensi stunting,” demikian pernyataan BPK seperti dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2023.
Salah satu permasalahan yang ditemukan BPK adalah Kemenkes belum sepenuhnya menyelenggarakan kebijakan perencanaan dan penganggaran program percepatan penurunan stunting (PPS) tahun 2022 dan 2023 dengan melibatkan multipihak (antara lain Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri). Salah satu tujuan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RANPASTI) yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting adalah melakukan penguatan upaya konvergensi perencanaan dan penganggaran PPS tingkat pusat, daerah, desa dan pemangku kepentingan yang berkesinambungan.
Kemenkes melalui Permenkes Nomor 48 Tahun 2017 telah menyusun pedoman perencanaan dan penganggaran bidang kesehatan meliputi perencanaan dan penganggaran yang menggunakan APBN dan sumber dana lain yang digunakan untuk dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun demikian, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Permenkes Nomor 48 Tahun 2017 dalam hal perencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi (monev) kegiatan pembiayaan JKN/Kartu Indonesia Sehat (KIS) belum mengacu pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021 yang di dalamnya menjelaskan bahwa PPS di Indonesia dilakukan secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi antarpihak.
“Hal ini mengakibatkan adanya risiko pelaksanaan program kegiatan intervensi spesifik dan intervensi sensitif dalam rangka PPS di lingkungan Kemenkes tidak sesuai sasaran pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021,” tulis BPK.
BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan Sekretaris Jenderal untuk berkoordinasi
dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku Ketua Tim Percepatan Penurunan
Stunting (TPPS) Pusat terkait perencanaan dan penganggaran program PPS serta menginstruksikan unit kerja terkait agar dalam menyusun perencanaan dan penganggaran terkait percepatan penurunan stunting menggunakan data Keluarga Risiko Stunting (KRS) dan sasaran Perpres Nomor 72 Tahun 2021.
Permasalahan lain yang ditemukan BPK adalah Kemenkes belum melaksanakan monitoring data rutin melalui Aplikasi Sistem Informasi Gizi (Sigizi) Terpadu dalam modul aplikasi pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) secara memadai. Kualitas data rutin dalam aplikasi/modul e-PPGBM belum sepenuhnya mencakup kelengkapan data, akurasi data, ketepatan waktu, dan konsistensi data. Sementara data rutin terkait gizi dan stunting belum sepenuhnya terintegrasi melalui Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK). Selain itu, data pada aplikasi/modul e-PPGBM belum dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan intervensi spesifik.
Hal ini mengakibatkan adanya potensi tidak tercapainya tujuan dari Aplikasi Sigizi Terpadu yaitu memperoleh informasi status gizi individu dan kinerja program gizi secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan untuk penyusunan perencanaan dan perumusan kebijakan gizi untuk mendukung PPS. BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan
agar memerintahkan Sekretaris Jenderal untuk menginstruksikan Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) mereviu hasil pekerjaan yang telah diselesaikan (product review) serta pelaksanaan rilis penerapan sistem informasi (aplikasi dan basis data) ASIK serta berkoordinasi dengan Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Koordinasi tersebut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kelemahan dalam rangka mengintegrasikan data pada aplikasi/modul e-PPGBM ke ASIK, dan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat untuk melaksanakan pengendalian aplikasi yang meliputi pengendalian kelengkapan, pengendalian akurasi, dan pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data.
BPK juga meminta Menkes memerintahkan Direktur Gizi dan KIA untuk melakukan verifikasi dan validasi secara berkala atas hasil analisis data pada aplikasi/modul e-PPGBM, serta mengidentifikasi kelemahan dan kebutuhan menu pelaporan pada aplikasi/modul e-PPGBM secara lengkap untuk menjamin tersedianya data rutin yang berkualitas.