WARTA PEMERIKSA –Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memegang peran kunci dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga ini tidak hanya bertugas mengaudit, tetapi juga aktif dalam mencegah, mendeteksi, dan mendukung penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Direktur Jenderal Pemeriksaan Investigasi BPK, I Nyoman Wara, menjelaskan bahwa BPK menjalankan tiga peran utama dalam pemberantasan korupsi. “Ketiga peran itu adalah preventif, detektif, dan represif,” ujarnya.
Dalam peran preventif, BPK berupaya mencegah terjadinya korupsi melalui pemeriksaan laporan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) non-investigatif. Dari proses tersebut, BPK kerap menemukan kelemahan sistem pengendalian internal (SPI) di berbagai entitas.
“Apakah sistem dari suatu entitas yang diperiksa ada yang lemah sehingga menimbulkan celah korupsi,” kata I Nyoman Wara.
Temuan kelemahan itu menjadi dasar bagi BPK untuk memberikan rekomendasi perbaikan sistem, sehingga potensi kebocoran keuangan negara dapat diminimalisir.
“Di situ fungsi preventing atau pencegahan yang dilakukan BPK dalam upaya pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Adapun dalam peran detektif, BPK melakukan pemeriksaan investigatif jika ditemukan indikasi pidana atau kerugian negara dalam pemeriksaan reguler. Pemeriksaan ini dirancang untuk mengungkap unsur-unsur seperti what, who, where, when, why, how, dan how much.
“Dalam mengungkap seberapa banyak kecurangan yang dilakukan, di situlah peran detektif BPK muncul,” kata I Nyoman.
Hasil pemeriksaan investigatif tersebut diserahkan kepada aparat penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika telah ditemukan dua alat bukti, maka kasus dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan dan penetapan tersangka.
Sementara dalam pendekatan represif, BPK mendukung proses penegakan hukum dengan menyampaikan temuan berindikasi korupsi dan hasil penghitungan kerugian negara kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti sesuai kewenangan.