Oleh: Akhmad Saputra Benawa, Pemeriksa Ahli Pertama pada BPK Perwakilan Provinsi Lampung
Agenda pembangunan nasional tahun 2014-2024 (Nawacita) meliputi pembangunan kesehatan dalam poin Nawacita 5 yang berbunyi “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia” dengan salah satu programnya yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang lebih dikenal dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pelaksanaan JKN cukup menggembirakan. Berdasarkan data dari sismonev.djsn.go.id1, sampai dengan 2024 mencapai 273,5 jiwa atau dari 514 Kabupaten/Kota telah terintegrasi dalam Program JKN-KIS. Artinya jumlah peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 97,13 persen penduduk Indonesia menjadi peserta JKN dalam waktu 10 tahun. Tentunya penambahan cakupan kepesertaan ini harus diikuti dengan pemenuhan supply side baik regulasi, sarana prasarana, dan SDM kesehatan untuk menjamin ketersediaan obat sesuai hak pasien. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan semakin nyata setelah ditetapkannya UU Nomor 40 Tahun 20042 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaiamana terakhir diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 20202 tentang Cipta Kerja, sekaligus mempertegas tentang hak dan kewajiban peserta Program JKN.
Paradigma yang ada dalam benak peserta JKN adalah adanya pelayanan prima dalam bentuk diagnosis akurat dengan ketersediaan obat berkualitas tanpa adanya pungutan biaya/gratis. Pemahaman tersebut tidak ada salahnya. Namun, peserta JKN harus memahami bahwa, hak pemberian obat pasien telah diatur berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam daftar obat dan kelas terapi pada Formularium Nasional (Fornas) dari Kemenkes. Daftar Fornas tersebut telah menyesuaikan besaran tarif klaim yang dapat dibayarkan menurut golongan/kelas tanggungan peserta.
Secara kualitas, obat Fornas termasuk kategori obat generik yang telah melalui serangkaian uji klinik dan keandalan kandungan. Artinya pelayanan obat untuk pasien JKN yang benar adalah sesuai pemberian kelas terapi obat mengacu Fornas. Ketentuan pemberian obat mengacu pada hak pasien JKN berdasarkan kelas tanggungan, sepanjang pasien tidak dikenakan tambahan iuran biaya, berdasarkan permintaan sendiri, dan tanpa adanya paksaan/advokasi yang melanggar prosedur pelayanan obat JKN diluar hak pasien.
Leading sector seperti Dinkes dan RSU di daerah harus terlibat aktif menjawab permasalahan dalam pengelolaan obat JKN. Pertama, masalah perencanaan. Obat untuk pasien JKN harus mengacu pada Fornas. Rencana pengadaan harus ditetapkan dalam Rencana Kebutuhan Obat (RKO) yang mempertimbangan usulan medis dari Instalasi Farmasi, Staf Medik Farmasi (SMF) dan Komite Farmasi. Selain itu, kegiatan perencanaan obat diluar Fornas harus tetap disusun RKO-nya sebagai bahan acuan pengadaan dan ketersediaan anggaran sejalan dengan standar capaian pelayanan kesehatan.
Kedua, proses pengadaan. Kemenkes memedomani Permenkes Nomor 5 Tahun 20193 tentang Perencanaan dan Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik yang mengatur bahwa pengadaan obat harus mengutamkan melalui mekanisme e-purchasing dan e-katalog. Kendala yang sering terjadi adalah waktu tunggu dari penyedia maupun distributor obat di e-katalog dalam kesanggupan memunisi pesanan dan waktu pengiriman. Menanggapi masalah tersebut diperlukan peran aktif penyelenggara pengadaan obat di Dinkes/RSU daerah agar segera melapor kepada LKPP sebagai bentuk inventarisasi penyedia-penyedia yang terindikasi tidak dapat berkomitmen dalam mematuhi aturan pengadaan.
Ketiga, kegiatan pemberian resep. Mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan4, setiap praktik kesehatan wajib mengikuti standar pelayanan. Panduan Praktik Klinis (PPK) sebagai bagian dari standar pelayanan sebagai tolak ukur dalam menjamin pelayanan yang sadar mutu dan biaya. PPK mengatur rincian langkah demi langkah pelayanan kesehatan mengacu karakteristik permasalahan, clinical pathway (alur klinis), protokol, dan prosedur yang diawasi Komite Medik dan Satuan Pengendalian Internal untuk meminimalisir pelanggaran dalam pemberian obat.
Keempat, monitoring dan evaluasi (Monev). Pemantauan dan penilaian terhadap seluruh kegiatan pengelolaan obat yang telah atau sedang dilaksanakan secara terencana dan sistematis sehingga dapat diidentifikasikan peluang atau tindakan perbaikan yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu layanan kefarmasian. Pelaksanaan monev yang memadai dilakukan secara berkala disertai dengan penyampaian rekomendasi perbaikan dan peningkatan mutu dalam bentuk laporan sebagai bahan evaluasi kebijakan.
Pentingnya pengelola kegiatan dan pelayanan di bidang kesehatan untuk mematuhi aturan pengelolaan obat JKN harus diperkuat dengan koordinasi dengan satuan tugas kesehatan terkait lainnya seperti Dewan Pengawas Kesehatan Provinsi/Kota/Kabupaten, Bagian Instalasi Farmasi di Dinkes/RSU, dan Komite Medik dan Farmasi. Tidak boleh ada konflik antar kelembagaan tersebut dalam pengelolaan obat JKN. Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan5, telah dijelaskan secara jelas terkait mekanisme pengawasan, pembinanan, dan sanksi atas praktik-praktik penyalahgunaan kegiatan JKN.
[1] https://sismonev.djsn.go.id/sismonev.php;
[2] https://peraturan.bpk.go.id/Details/40787
[3] https://peraturan.bpk.go.id/Details/129755/permenkes-no-5-tahun-2019
[4] https://peraturan.bpk.go.id/Details/258028/uu-no-17-tahun-2023
[5] https://peraturan.bpk.go.id/Details/129762/permenkes-no-16-tahun-2019