WARTA PEMERIKSA—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengingatkan pemerintah memperhatikan risiko fiskal dalam jangka panjang. Sebab, beberapa indikator kerentanan utang telah melampaui batas praktik terbaik yang direkomendasikan lembaga internasional.
Hal tersebut tertera dalam Laporan Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal No. 9e/LHP/XV/06/2020 yang disampaikan BPK dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019. LKPP itu sendiri diserahkan Ketua BPK Agung Firman Sampurna kepada Presiden Joko Widodo di Jakarta, Juli lalu.
“Indikator kerentanan utang yang meliputi rasio debt service terhadap penerimaan, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan sebagai bagian dari pengelolaan fiskal telah melampaui batas praktik yang direkomendasikan lembaga internasional,” kata Agung.
Laporan Hasil Reviu atas Kesinambungan Fiskal itu menyebut berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003, pemerintah memiliki dua batasan terkait dengan pengelolaan fiskal. Defisit dibatasi maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan jumlah utang dibatasi maksimal 60% terhadap PDB.
Pembiayaan dilaksanakan sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, mempertahankan kesinambungan fiskal melalui pengendalian defisit, menurunkan rasio utang dan meningkatkan kualitas belanja melalui efektivitas dan efisiensi pembiayaan dalam negeri.
Sesuai dengan RPJMN, penentuan capaian kesinambungan ditetapkan dalam tiga hal. Pertama, menjaga rasio utang pemerintah di bawah 30% dan terus diperkirakan menjadi 20% pada 2019. Kedua, mengupayakan keseimbangan primer menurun dan menjadi positif pada 2019.
Ketiga, menjaga defisit anggaran di bawah 3% dan pada 2019 menjadi 1% terhadap PDB. Ketiga target tersebut tidak tercapai. Rasio utang 2019 berada pada kisaran 30%, keseimbangan primer negatif, dan defisit anggaran 2019 tidak menjadi 1%, tetapi melebar menjadi 2,20% terhadap PDB.
Meski target RPJMN tidak tercapai, pemerintah berhasil menjaga defisit APBN terhadap PDB di bawah 3% pada 2015-2018 dengan stok utang di bawah 30%. Adapun rasio defisit terhadap PDB tahun 2019 mencapai 2,20% dengan rasio utang 30,23%, di bawah batas maksimal UU No. 17/2003.
Dalam jangka panjang, nilai primary balance diharapkan positif. Keseimbangan primer merupakan selisih pendapatan dan belanja selain bunga utang. Kondisi sustainability dipertahankan jika primary balance positif, yang berarti bunga utang dibayar pendapatan negara, bukan dengan utang baru.
Keseimbangan primer 2015 mencapai minus Rp142,49 triliun dan menjadi minus Rp73,13 triliun pada 2019. “Nota Keuangan Tahun 2019 mengisyaratkan pengendalian defisit dan keseimbangan primer menuju positif, tetapi capaiannya menunjukkan sebalikny,” ungkap laporan tersebut.
Target Meleset
Agung mengungkapkan keseimbangan primer 2019 yang minus Rp73,13 triliun, semakin jauh dari sebelumnya minus Rp11,49 triliun. Dengan demikian, rasio utang terhadap PDB, defisit dan primary balance 2015-2019 meleset dari target RPJMN 2014-2019.
Konsekuensinya, timbul risiko fiskal dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan proyeksi dan target yang ditetapkan dalam RPJMN merupakan komitmen yang perlu dicapai oleh pemerintah untuk menjamin kesinambungan pengelolaan keuangan negara di masa depan.
Beberapa indikator kerentanan pengelolaan utang telah melampaui rekomendasi ISSAI 5411. Rasio debt service meningkat pada 2013-2018, dan melampaui rekomendasi International Monetary Fund (IMF) 35% pada 2018, meski masih di bawah rekomendasi International Debt Relief (IDR).
Hal itu mengindikasikan peningkatan penerimaan tidak sebesar peningkatan pembayaran utang. Rasio bunga terhadap penerimaan juga mengalami tren peningkatan. Bahkan, sejak 2013, rasio bunga terhadap penerimaan mencapai 7,86%, melampaui batas rekomendasi IDR, yaitu 6,%.
Rekomendasi IMF 10% terlampaui pada 2015 karena rasio tahun itu 10,3%. Itu berarti, peningkatan belanja bunga tidak diiringi dengan penerimaan. Ada pula peningkatan rasio saldo utang terhadap penerimaan 2013-2018. Sejak 2014, rasio di atas batas yang direkomendasikan IMF dan IDR. (rd)