JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menolak penghitungan akuntansi yang membebankan kerugian investasi PT Asabri (Persero) pada akumulasi iuran pensiun.
Penegasan itu termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Pusat 2019 tertanggal 15 Juni 2020.
“Pembebanan kerugian investasi akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri pada dana yang dibatasi penggunaannya dan utang jangka panjang dalam negeri lainnya per 31 Desember 2019 tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan dan ketentuan akumulasi iuran pensiun”, demikian tercantum dalam LHP.
Penegasan itu muncul setelah BPK mendapati nilai akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri mengalami penyusutan. Pada 2018, nilai akumulasi iuran pensiun yang dikelola PT Asabri sebesar Rp25,19 triliun.
Namun, pada 2019, nilainya turun menjadi Rp17,66 triliun, alias berkurang Rp7,52 triliun atau menyusut 29,85%. BPK tidak sependapat dengan model penghitungan seperti itu. Akumulasi iuran pensiun adalah dana yang berasal dari iuran peserta pensiun, dalam hal ini anggota TNI-Polri.
Iuran ini merupakan dana pihak ketiga yang dikelola PT Asabri, hingga dicatat dalam pos Aset Lainnya. Pada saat bersamaan, dana ini juga menjadi kewajiban pemerintah untuk membayarnya bila anggota TNI-Polri memasuki usia pensiun, hingga dicatat dalam pos Utang Jangka Panjang Dalam Negeri Lainnya.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No.174/PM.02/2017, penurunan nilai akumulasi iuran pensiun hanya dapat terjadi bila pemilik dana, yaitu anggota TNI-Polri yang sudah pensiun, mengambil kembali haknya atas dana tersebut.
BPK menemukan penyusutan akumulasi iuran pensiun itu tidak terjadi karena peserta iuran mengambil kembali haknya, tapi karena PT Asabri kurang berhati-hati mengelola investasi hingga timbul kerugian.
Penyebab kerugian PT Asabri sudah diungkap sebelumnya oleh BPK dalam LHP Kinerja atas Efektivitas Program Pensiun PNS, TNI, dan Polri Tahun 2019 Nomor 130/LHP/XV/12/2019 tertanggal 31 Desember 2019.
LHP tersebut mengungkapkan penempatan saham yang dilakukan tidak dengan prinsip kehati-hatian oleh PT Asabri. Penghitungan yang membebankan nilai kerugian investasi PT Asabri terhadap akumulasi iuran pensiun karenanya tidak dapat diterima.
Hal itu bertentangan dengan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang standar akuntansi pemerintah, lampiran 1, kerangka konseptual, yang menyatakan “informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur serta dapat diverifikasi.”
BPK juga berpendapat penurunan nilai investasi PT Asabri (Persero) tidak dapat mengurangi kewajiban pemerintah terhadap hak anggota TNI dan Polri, karena mereka belum memproleh hak atas iuran yang ditempatkannya.
Atas permasalahan ini, BPK antara lain merekomendasikan Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah agar bersama Menteri BUMN selaku pemegang saham untuk, meminta PT Asabri memperbaiki penyajian investasi pada laporan keuangan 2018 dan 2019.
Selain itu, BPK merekomendasikan kedua menteri untuk mengukur kewajiban pemerintah sebagai pengendali PT Asabri yang timbul sebagai pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2014.
BPK juga merekomendasikan agar ditetapkan kebijakan pertanggungjawaban atas penurunan nilai investasi dari akumulasi iuran pensiun dan dampaknya atas kewajiban pemerintah kepada anggota TNI-Polri dengan memperhatikan PP Nomor 102 Tahun 2015 dan PP Nomor 71 Tahun 2010. (Hms)