JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan uji materi terkait pengujian ketentuan mengenai kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) tidak dapat diterima. Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Oktober 2020 itu, MK menegaskan kembali bahwa PDTT adalah wewenang konstitusional BPK.
Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Blucer Welington Rajagukguk menyampaikan, salah satu pertimbangan MK dalam putusan tersebut yakni pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan. Selain itu, MK dalam amar putusan juga menyampaikan, PDTT masih dibutuhkan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
PDTT merupakan upaya untuk menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar.
Dalam persidangan, kata Blucer, BPK fokus pada legal standing pemohon. BPK pun menjelaskan kewenangannya adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
“Jadi kalau pemohon sebagai pembayar pajak merasa dirugikan hak konstitusionalnya justru terbalik. Karena BPK ini justru menjaga pengelolaan keuangan negara dilakukan secara sebaik-baiknya dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk menjaga kepercayaan pembayar pajak kepada pemerintah,” ungkap Blucer kepada Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, secara substansi BPK menjelaskan kaitan PDTT dengan pemeriksaan lainnya. Salah satu hal yang dibahas dalam persidangan adalah kewenangan BPK melakukan PDTT meski entitas tersebut sudah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) laporan keuangannya.
Blucer menjelaskan, pemberian opini dalam LHP laporan keuangan untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan tersebut. “Apakah sudah disajikan wajar atau belum berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dalam program pemeriksaan,” kata Blucer.
Blucer mengatakan, PDTT dapat dilakukan berdasarkan rencana kerja dari masing-masing Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) BPK maupun berdasarkan permintaan seperti dari lembaga perwakilan atau aparat penegak hukum. PDTT tidak saja sangat dibutuhkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan membantu entitas dalam mengatasi masalah pengelolaan keuangan negara, tetapi juga menjadi instrumen penting dan strategis dalam upaya mendeteksi dan mencegah tindak pidana korupsi.
Terkait dengan potensi penyalahgunaan kekuasaan PDTT, Blucer menjelaskan, pemeriksaan BPK tidak terpisahkan dengan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga, terjadi praktik check and balance dalam setiap pelaksanaan tugas BPK.
“Kewenangan PDTT juga adalah praktik yang dijalankan di lingkup internasional dan kita tidak membuat PDTT secara serta merta,” ungkapnya.
BPK pun memiliki perangkat untuk mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan yakni dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Dalam standar tersebut diatur mengenai quality control dan quality assurance dalam pemeriksaan. Selain itu, pemeriksa BPK juga memiliki kode etik dalam pelaksanaan tugasnya.