Mengapa Reviu Kemandirian Fiskal Penting Bagi Kemajuan Daerah?

by Admin 1
Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus berupaya memberikan nilai tambah melalui pemeriksaan yang dilakukan. Selain memeriksa tata kelola keuangan daerah, BPK sejak tahun lalu mengeluarkan laporan hasil reviu atas kemandirian fiskal pemerintah daerah tahun anggaran 2018 dan 2019.

Langkah BPK yang mulai menyoroti kemandirian fiskal daerah diapresiasi Bank Indonesia (BI). Menurut Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, laporan hasil reviu BPK atas kemandirian fiskal pemerintah daerah bermanfaat bagi para pemangku kepentingan. Kondisi fiskal di daerah dinilainya amat penting untuk dicermati bersama karena memiliki kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Dody mengatakan, BPK merupakan lembaga yang memiliki kapasitas sangat baik dalam melakukan reviu. Apalagi, BPK bisa mendapatkan akses atas data suatu institusi secara granular. “Kami melihat reviu terhadap kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu bentuk perhatian BPK dalam melihat suatu isu yang ada di republik ini. Kami menyambut baik reviu yang dilakukan BPK,” kata Dody saat berbincang dengan Warta Pemeriksa, Jumat (12/3).

Ia menilai, masalah kemandirian fiskal daerah merupakan isu yang bisa dikatakan penting bagi pemerintah pusat maupun daerah. BI pun disebutnya membutuhkan informasi terkait fiskal daerah. Sebab, fiskal menjadi instrumen kebijakan yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, redistribusi alokasi anggaran, dan inklusivitas penggunaan anggaran.

“Sehingga dengan adanya kemandirian fiskal, itu memberikan semacam stabilitas kepada ekonomi kita, yang notabene stabilitas itu merupakan tugas pokok dari BI. Jadi kita pun sangat diuntungkan dengan hasil reviu ini, tidak saja pemerintah pusat ataupun daerah. Bahkan kalau kita lihat, beberapa lembaga lain di luar instansi publik, seperti lembaga pembiayaan, lembaga pemeringkat internasional, juga akan membutuhkan informasi tersebut dalam konteks untuk mendorong investasi,” ucap Dody.

Ia pun berharap perhatian BPK terhadap kemandirian fiskal tak berhenti pada mengenai mandiri atau tidaknya suatu daerah. BPK juga perlu memberikan rekomendasi terkait hal dan kebijakan apa saja yang perlu dilakukan daerah untuk meningkatkan kemandirian fiskal.

Sebagai informasi, BPK kini menjadikan kemandirian fiskal sebagai bagian dari kecukupan pengungkapan informasi di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Tujuannya agar dapat menjadi perhatian bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam menganalisis hubungan kemandirian fiskal daerah dengan fungsi otonomi daerah maupun pelayanan publik di daerah. 

Berdasarkan Laporan Hasil Reviu atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2018 dan 2019, ada sebanyak 10 dari 34 pemerintah provinsi yang belum mandiri pada tahun anggaran 2018 dan turun menjadi 8 pemerintah provinsi pada 2019. Adapun jumlah pemerintah kabupaten/kota yang belum mandiri sebanyak 471 dari 508 kabupaten/kota pada tahun 2018. Jumlah itu turun menjadi 458 dari 497 kabupaten/ kota pada 2019.

Hal yang perlu dicermati dari daerah yang masuk kategori kabupaten/kota belum mandiri tersebut adalah terdapat sedikitnya 102 dari 458 daerah dengan nilai IKF di bawah 0,05. Hal itu menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut sangat tergantung dengan dana transfer, karena PAD hanya cukup untuk membiayai 5 persen belanja daerah.

Sementara itu, ada 16 provinsi yang masuk kategori menuju kemandirian pada tahun anggaran 2018. Angka itu meningkat menjadi 18 provinsi pada 2019. Sementara jumlah kabupaten/kota yang masuk klasifikasi menuju kemandirian pada 2018 sebanyak 34 dan meningkat menjadi 36 daerah pada 2019. Sedangkan, daerah yang telah mandiri pada tahun anggaran 2018 dan 2019 jumlahnya sama yaitu terdapat 8 pemerintah provinsi dan 2 pemerintah kota.

You may also like