Reviu Kemandirian Fiskal BPK Ungkap Alasan Pemda Kurang Inovatif

by Admin 1
Bhima Yudhistira (sumber: indef.or.id)

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyampaikan Laporan Hasil Reviu atas Pelaksanaan Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun 2018 dan 2019. Laporan itu menjadi laporan tambahan dari hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2019. Dari reviu tersebut, BPK menilai, sebagian besar pemerintah daerah belum mandiri.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyampaikan, terdapat sejumlah faktor yang membuat pemerintah daerah (pemda) masih belum mandiri secara fiskal. Hal itu antara lain, terdapat ketergantungan beberapa pemda terhadap kegiatan usaha berbasis komoditas dan pengolahan primer.

“Kondisi penerimaan daerah sangat bergantung dari fluktuasi harga komoditas global. Ini membuat ketidakpastian dalam perencanaan anggaran khususnya di luar Jawa,” ujar Bhima ketika dihubungi Warta Pemeriksa, beberapa waktu lalu.

Selain itu, menurut Bhima, pemda khususnya daerah pemekaran baru memiliki porsi belanja pegawai dan belanja barang yang sangat tinggi. Bahkan komponen belanja tersebut bisa mencapai lebih dari 80 persen terhadap total pagu belanja. Hal itu kemudian membuat ruang fiskal daerah menjadi semakin sempit.

Bhima juga menyoroti adanya kesenjangan kualitas SDM di tingkat pemda sehingga dalam tahap perencanaan anggaran cenderung berulang setiap tahun. “Sehingga, kurang ada inovasi,” ungkap Bhima.

Ruang fiskal yang sempit juga ditambah dengan kekakuan penggunaan dana transfer daerah dari pusat. Menurut Bhima, dengan serangkaian ketentuan yang ada, ruang bagi pemda untuk melakukan penyesuaian penggunaan anggaran semakin terbatas.

Hal itu juga mengakibatkan pemda semakin sulit berinovasi. Padahal, sejumlah pemda perlu mendesain insentif yang menarik agar dunia usaha di daerahnya bisa bergerak.

Atas permasalahan itu, Bhima menyarankan perlu ada perbaikan sistem. Salah satunya, yakni dengan pembatasan belanja yang sifatnya birokrasi dan fokus pada ruang pemda untuk memberikan stimulus kepada pelaku usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kemudian, peningkatan SDM juga perlu dilakukan dengan mengoptimalkan pendampingan dari pemerintah pusat.

Bhima juga menyarankan revisi regulasi yang mempersulit pemda dalam menyusun program kegiatan di daerah. “Evaluasi serta revisi Permendagri 90/2019 dan pemutakhirannya yang mengatur sangat ketat kode dan nomenklatur program,” ujar Bhima.

Reviu kemandirian fiskal daerah adalah salah satu komponen dari reviu atas desentralisasi fiskal. Reviu desentralisasi fiskal terdiri dari kriteria kualitatif dan kriteria kuantitatif. Tahun ini yang digunakan baru kriteria kuantitatif, yakni indeks kemandirian fiskal daerah (IKFD). Reviu kemandirian fiskal daerah dilakukan mencakup seluruh pemerintah daerah dengan empat level penilaian, yakni belum mandiri, mandiri, menuju kemandirian, mandiri, hingga sangat mandiri.

Dari 542 pemerintah daerah, untuk tingkat nasional hanya satu daerah yang berhasil mencapai level sangat mandiri yakni kabupaten Badung di Provinsi Bali dengan IKFD mencapai 0,8347, yang berarti 83,47 persen belanja daerah didanai oleh pendapatan yang dihasilkannya sendiri (PAD). Indeks tersebut lebih tinggi dibandingkan Kota Bandung dengan IKF 0,4024 dan bahkan lebih tinggi dari Provinsi DKI Jakarta yang memiliki kapasitas fiskal terbesar di antara seluruh daerah di Indonesia, dengan IKF sebesar 0,7107.

You may also like