JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terus berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di dunia internasional. Keaktifan tersebut salah satunya diwujudkan dengan keterlibatan Ketua BPK Agung Firman Sampurna sebagai anggota Chandler Session on Integrity and Corruption.
The Chandler Sessions on Integrity and Corruption merupakan proyek yang digawangi Blavatnik School of Government, University of Oxford. Tujuannya yaitu mengembangkan strategi generasi terbaru bersama berbagai institusi untuk memerangi korupsi dan mempromosikan budaya integritas di seluruh sektor publik.
Dalam pertemuan forum yang digelar beberapa waktu lalu tersebut, misalnya, Ketua BPK memaparkan pandangannya untuk memperkuat pengukuran kinerja pemberantasan korupsi. Ia juga menjelaskan mengenai konsep tiga generasi pengukuran korupsi.
Melalui pidatonya yang bertama “Uses, Challenges and Opportunities for Strengthening Corruption Perception Index, Particularly in Indonesia” Agung memaparkan bahwa telah terjadi peningkatan kerugian negara akibat korupsi berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch. Pada semester I 2021, kerugian negara mencapai Rp26,83 triliun. Angka ini meningkat 47,6 persen dibandingkan semester I 2020 yang sebesar Rp18,17 triliun.
“BPK sendiri selama periode 2017 hingga 30 Juni 2021 telah melakukan 25 pemeriksaan investigatif dan menyerahkannya kepada aparat penegak hukum, melakukan 270 pemeriksaan perhitungan kerugian negara dan menjadi saksi ahli persidangan untuk 274 kasus korupsi,” kata Ketua BPK.
Ketua BPK dalam pidatonya juga memaparkan CPI Indonesia yang secara rutin dikeluarkan Transparency International. Merujuk pada data yang ada, ada perbaikan CPI dalam kurun waktu 15 tahun, antara 2004 hingga 2019. Pada 2004, CPI Indonesia berada di angka 20, sementara pada 2019 naik menjadi 40. Sayangnya, memasuki 2020, CPI Index Indonesia turun ke angka 37 dan menempatkan Indonesia di peringkat 102 di antara 180 negara.
CPI menggunakan rentang antara 0-100. Angka 0 menandakan negara yang dimaksud sangat korup. Sebaliknya, skor 100 menandakan suatu negara bersih dari korupsi. “Lalu muncul pertanyaan kritis, apakah CPI cukup valid dan andal dalam mengukur? Khususnya korupsi di Indonesia? Apalagi korupsi adalah masalah yang kompleks,” katanya.
Atas hal tersebut, ia menilai ada lima hal yang menjadi tantangan terkait CPI. Pertama, menurut Agung adalah masalah definisi. Kurangnya konsensus tentang arti istilah korupsi membuat sulit untuk memahami kriteria di balik pemeringkatan CPI. Kedua, masalah pengukuran. CPI hanya mengukur korupsi di sektor publik, sedangkan korupsi seringkali melibatkan sektor swasta.
Selanjutnya adalah mengenai metodologi. Agung menjelaskan, CPI menggunakan “persepsi”, sementara mereka tidak selalu mencerminkan kebenaran fakta tentang tingkat korupsi yang sebenarnya. Bias persepsi juga menciptakan dua masalah, yaitu komparabilitas dan perbedaan kerangka definisi oleh responden.
Keempat terkait hasil. CPI menurut Agung tidak mengungkapkan keunikan masalah yang dihadapi publik entitas. Selain itu, CPI tidak mencerminkan program pencegahan penipuan yang dilakukan oleh entitas publik, tidak menilai hasil program anti-fraud, dan tidak memberikan informasi tentang tindakan korektif yang diperlukan untuk meningkatkan program anti-fraud.
Adapun yang kelima adalah terkait dampak. Ia mengatakan, interpretasi yang salah dari CPI dapat berimplikasi pada negara-negara dengan skor rendah. Donor internasional dan lembaga bantuan telah menggunakan peringkat negara dalam CPI sebagai kunci indikator kinerja.
Menurut Ketua BPK, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memperkuat CPI. “Kita dapat mempertimbangkan konsep ‘tiga generasi pengukuran korupsi’ seperti yang dijelaskan oleh McDevitt (2011), Heinrich and Hodess (2011) untuk mengembangkan pendekatan pengukuran korupsi,” ungkapnya.
Konsep pertama, generasi pertama berupaya menempatkan negara pada peringkat korupsi dan membangun persepsi korupsi. CPI adalah contoh dari generasi ini. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran antara pembuat kebijakan dan investor. Generasi kedua berupaya menilai pengalaman masyarakat dalam menemukan korupsi, dan untuk menilai apakah suatu sistem mampu meminimalkan korupsi.
Sedangkan generasi ketiga berfokus pada penilaian risiko korupsi tertentu, dengan menggunakan pendekatan partisipatif, berfokus pada proses, data triangulasi, dan intervensi advokasi berbasis bukti. “Pengukuran korupsi harus sampai pada generasi kedua dan ketiga. Korupsi dan tindakan manajemen risiko penipuan harus dianggap sebagai bagian integral dari National Risk Management Framework (NRMF). Desain dan implementasi NRMF harus mempertimbangkan ekosistem nasional yang ada dan melibatkan kolaborasi di antara berbagai lembaga sektor publik,” katanya.