JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki mandat utama untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Oleh karena itu, menjaga mutu hasil pemeriksaan merupakan hal yang sangat penting.
Sebagai upaya untuk menjaga dan terus meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan, BPK pada 2020 telah menerbitkan Enam Pilar Sistem Pengendalian Mutu BPK melalui Keputusan BPK Nomor 6/K/IXIII.2/6/2020. Inspektur Pemerolehan Keyakinan Mutu Pemeriksaan (PKMP) Rita Amelia mengatakan, keputusan tersebut mempengaruhi sistem pengendalian mutu terkait petunjuk pelaksanaan sistem pemerolehan keyakinan mutu tahun 2009, yang mana sebelumnya dikenal dengan sembilan pilar sistem pengendalian mutu.
“BPK juga harus memastikan independensi pihak yang melakukan pemantauan (tidak terlibat dalam pelaksanaan pemeriksaan tersebut dan kewenangan lainnya maupun turut serta dalam reviu pengendalian mutu).”
Rita memerinci, keenam pilar tersebut terdiri atas tanggung jawab BPK atas mutu, persyaratan etika, perencanaan dan pertimbangan risiko, sumber daya manusia (SDM), kinerja pemeriksaan dan kewenangan lain, serta pemantauan.
Ia menjelaskan, pilar pertama terkait tanggung jawab bpk atas mutu dilaksanakan dengan membentuk kebijakan dan prosedur. Hal itu dirancang untuk mendorong budaya internal yang mengakui bahwa mutu merupakan bagian penting dalam melaksanakan pemeriksaan dan kewenangan lainnya.
“Kebijakan dan prosedur ini ditetapkan oleh BPK yang memiliki tanggung jawab keseluruhan atas mutu,” kata Rita kepada Warta Pemeriksa, belum lama ini.
Sementara itu, pilar kedua, standar pengendalian mutu BPK berkaitan dengan persyaratan etika. Melalui pilar kedua ini, BPK menetapkan kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai. Yaitu bahwa BPK dan seluruh pelaksana serta pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK, patuh pada kode etik BPK dan peraturan disiplin pegawai yang berlaku.
Kemudian, pilar ketiga standar pengendalian mutu BPK adalah perencanaan dan pertimbangan risiko. BPK membentuk kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa BPK hanya akan melaksanakan pemeriksaan dan kewenangan lainnya apabila memenuhi sejumlah ketentuan.
Ketentuan pertama, kompeten untuk melakukan pekerjaan dan memiliki kemampuan, termasuk dari segi waktu dan sumber daya untuk melaksanakannya. Kedua, dapat mematuhi persyaratan etika yang berlaku. Ketiga, telah mempertimbangkan integritas organisasi yang diperiksa dan mempertimbangkan bagaimana memperlakukan risiko yang timbul terhadap mutu.
Selanjutnya, pilar keempat standar pengendalian mutu BPK berkaitan dengan SDM. “Terkait pilar keempat ini BPK membentuk kebijakan dan prosedur yang dirancang agar dapat memberikan keyakinan yang memadai bahwa BPK memiliki SDM yang cukup dan memiliki kompetensi, kapabilitas, dan komitmen pada prinsip-prinsip etika yang berlaku untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerbitkan laporan yang sesuai dengan kondisi senyatanya,” kata dia.
Kemudian, pilar kelima standar pengendalian mutu BPK adalah kinerja pemeriksaan dan kewenangan lain dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi BPK. Rita menjelaskan, BPK menetapkan kebijakan dan prosedur yang dirancang agar dapat memberikan keyakinan yang memadai bahwa proses pemeriksaan dan kewenangan lain telah dilakukan sesuai dengan standar dan persyaratan hukum dan peraturan yang berlaku. Selain itu, BPK menerbitkan laporan yang sesuai dengan kondisi senyatanya.
Kebijakan dan prosedur tersebut harus mencakup beberapa hal. Pertama, hal-hal yang relevan untuk mengedepankan konsistensi dalam mutu pekerjaan yang dilakukan. Kedua, tanggung jawab supervisi/pengawasan. Sedangkan hal ketiga adalah tanggung jawab reviu.
Adapun pilar pilar keenam berkaitan dengan pemantauan. BPK, ujar Rita, merancang proses pemantauan agar dapat memberikan keyakinan yang memadai bahwa kebijakan dan prosedur yang berhubungan dengan sistem pengendalian mutu telah relevan, memadai, dan berjalan efektif.
Proses pemantauan tersebut harus mempertimbangkan dan mengevaluasi secara berkelanjutan terhadap sistem pengendalian mutu di BPK. Termasuk reviu atas sampel pemeriksaan dan kewenangan lainnya yang telah selesai.
Proses pemantauan harus menjadi tanggung jawab BPK dan dapat didelegasikan kepada pelaksana BPK yang memiliki kompetensi, pengalaman, dan kewenangan yang sesuai dan memadai di BPK untuk mengemban tanggung jawab tersebut. “BPK juga harus memastikan independensi pihak yang melakukan pemantauan (tidak terlibat dalam pelaksanaan pemeriksaan tersebut dan kewenangan lainnya maupun turut serta dalam reviu pengendalian mutu),” kata dia.