JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Pemerintah berencana mengubah skema dana pensiun pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat negara dari manfaat pasti menjadi iuran pasti. Perubahan skema dianggap perlu karena beban negara dalam membayar uang pensiun terus meningkat setiap tahunnya.
Terkait rencana pemerintah tersebut, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono menilai pengelolaan dana pensiun memang sudah seharusnya diperbaiki. Pemerintah juga patut melakukan reformasi pengelolaan dana pensiun dari sisi kelembagaan.
“Penyelenggaraan program pensiun salah kaprah. Menurut saya, yang dijalankan sekarang bukan manfaat pasti dan bukan juga iuran pasti,” kata Agus saat berbincang dengan Warta Pemeriksa, belum lama ini.
Agus menjelaskan, dalam skema manfaat pasti, setiap pensiunan akan mendapatkan jumlah uang pensiun sesuai jumlah yang ditetapkan pemerintah. Dengan skema tersebut, ada porsi yang ditanggung pemberi kerja, dalam hal ini pemerintah, untuk menutupi selisih dari jumlah iuran yang disetorkan pensiunan saat masih bekerja.
Seperti diketahui, besaran iuran pensiun yang dibayar PNS setiap bulan sebesar 4,75 persen dari jumlah penghasilan pegawai (gaji pokok ditambah tunjangan istri dan anak). Dalam praktiknya, manfaat pensiun dibayarkan seluruhnya oleh pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Skema itu membuat risiko ada di pihak pemerintah.
Skema lainnya dalam penyaluran dana pensiun adalah iuran pasti. Dalam skema ini, pegawai mendapatkan uang pensiun berdasarkan nilai aset atau iuran yang sudah dikumpulkan ditambah dengan dana dari APBN. Kewajiban pemerintah pun akan lebih terukur dalam skema ini.
“Mana yang lebih rendah risikonya bagi pemerintah? Tentu iuran pasti. Karena jumlah uang pensiun dihitung berdasarkan seberapa banyak aset (akumulasi iuran) yang dimiliki pegawai,” kata Agus.
“Dalam teori yang sekarang dilaksanakan oleh pemerintah, maka APBN harus menyisikan sejumlah uang yang secara pasti diterima pensiunan. Sedangkan uang yang dikumpulkan dari iuran, diletakkan dan dimanfaatkan oleh Taspen dan Asabri secara terpisah. Ini yang terjadi sekarang.”
Agus tak ingin memberikan pendapat mengenai skema mana yang lebih baik dilaksanakan pemerintah. Sebab, pilihan tersebut tergantung kemampuan pemerintah, dalam hal ini kemampuan APBN untuk membayar uang pensiun.
Kendati demikian, Agus berpendapat bahwa skema pembayaran pensiun yang diberlakukan saat ini bukan manfaat pasti, bukan juga iuran pasti. Alasannya, iuran pensiun yang dikumpulkan PNS diserahkan kepada PT Taspen (Persero). Adapun iuran pensiun TNI, Polri, dan PNS Kementerian Pertahanan, diserahkan kepada PT Asabri.
Meski ada iuran yang dikumpulkan di kedua lembaga tersebut, pemerintah setiap tahun harus mengalokasikan anggaran pensiun dan menanggung sepenuhnya.
“Jadi sebenarnya, ini yang mana (skema yang diterapkan), Manfaat pasti bukan, iuran pasti bukan. Yang pasti itu, pasti keluar anggaran dari APBN dalam jumlah sekian. Ini yang menurut saya salah kaprah. Saya juga sudah sampaikan kepada Kementerian Keuangan bawa penyelenggaraan pensiun salah kaprah. Bukan manfaat pasti, bukan iuran pasti. Ini karena pembayaran uang pensiun sepenuhnya ditanggung APBN,” kata Agus.
Menurut Agus, pemerintah semestinya hanya menanggung sebagian pembayaran uang pensiun, baik itu dalam skema manfaat pasti maupun iuran pasti. Sementara dalam praktik yang dijalankan, pemerintah menanggung seluruh pembayaran uang pensiun.
“Dalam teori yang sekarang dilaksanakan oleh pemerintah, maka APBN harus menyisikan sejumlah uang yang secara pasti diterima pensiunan. Sedangkan uang yang dikumpulkan dari iuran, diletakkan dan dimanfaatkan oleh Taspen dan Asabri secara terpisah. Ini yang terjadi sekarang,” ujar Agus.