Oleh A M Zdavir Sapada S.E., – Pemeriksa Ahli Pertama BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara
Dalam Audit Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Upaya Penanggulangan Kemiskinan TA 2021 Provinsi Sulawesi Tenggara (Provinsi Sulawesi Utara), ditemukan bahwa dalam menanggulangi kemiskinan, sejumlah dinas belum menemukan indikator yang tepat dalam upaya mengatasi kemiskinan. Padahal, untuk mengatasi kemiskinan, pemerintah daerah (pemda) perlu untuk menemukenali indikator yang tepat agar dapat mengentaskan akar masalah kemiskinan. Namun demikian, masalah yang sering terjadi adalah pemda seringkali keliru dalam mengidentifikasi indikator-indikator terkait. Alih-alih menyasar masyarakat miskin, pemerintah daerah lebih menargetkan produktivitas, atau secara lebih spesifik, secara an sich pada pertumbuhan itu sendiri. Masih pada laporan yang sama, sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) alih-alih merencanakan untuk menargetkan pada indikator yang lebih mendalam (spesifik), SKPD seringkali menargetkan pada indikator yang bersifat lebih umum (general).
Menyasar indikator nonspesifik berpotensi membuat sasaran program salah sasaran, yang Ketika dijalankan, diterima oleh kelompok yang seharusnya tidak menerima (golongan berpendapatan mampu). Kekeliruan atau kegagalan dalam menentukan indikator yang tepat dapat bersifat fatal: Misalnya, dapat disimak pada sejumlah SKPD yang menyasar untuk meningkatkan jumlah produksi sektor komoditi unggulan pertanian/perkebunan atau misalnya jumlah produksi perikanan. Padahal, bisa jadi Sebagian besar pelaku industri yang berada pada sektor tersebut didominasi oleh individu dengan pendapatan menengah ke atas.
Walhasil, kebijakan maupun belanja anggaran yang dijalankan berpotensi bukan hanya tidak tepat sasaran, namun juga menghasilkan: pemborosan anggaran, kesenjangan yang kian melebar, yang membuat diperlukannya peningkatan anggaran bagi masyarakat miskin di tahun anggaran berikutnya yang bukan hanya untuk kemiskinan, namun juga mengatasi kesenjangan yang kian parah. Hal ini menekankan akan pentingnya dalam menemukan indikator yang jelas agar dapat merumuskan kebijakan yang tepat sehingga belanja anggaran yang dijalankan dapat efektif dan efisien, serta tepat sasaran. Kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tenggara sendiri pada tahun 2018 berada pada 11,63 persen (307,1 ribu jiwa), sementara pada tahun 2022 mencapai 11,27 persen (314,74 ribu jiwa) dari total penduduk. Angka tersebut menunjukkan bahwa kebijakan program maupun kebijakan penganggaran yang dilaksanakan pemda belum menunjukkan kemajuan yang berarti dalam mengatasi kemiskinan.
Sen dan Postulat Pembangunan
Dalam Development as Freedom, yang ditulis oleh ekonom penerima Nobel, Amartya Sen, dalam pembangunan, Sen tidak lupa menyebutkan pentingnya demokrasi bagi suatu negara. Hal tersebut dikarenakan hadirnya demokrasi di suatu negara memungkinkan masyarakat untuk dapat menyalurkan aspirasi kepada wakil rakyat agar terserap yang kelak diharapkan dapat dijadikan bahan pokok pikir bagi DPRD yang disampaikan ke pemerintah melalui fungsi legislasi DPRD, dan karenanya, turut membantu dalam merumus-bentuk kebijakan pemerintah. Dalam bukunya sendiri, Sen menyampaikan bahwa, untuk berhasil, pembangunan mensyaratkan sejumlah hal: 1) Kebebasan politik dan transparansi; 2) Kebebasan dalam memperoleh peluang juga mencakup akses terhadap kredit; 3) Perlindungan ekonomi melalui perlindungan sosial.
Penjelasan Sen tidak hanya menunjukkan bahwa pemerintah sejatinya tidak dapat sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi belaka, namun juga terdapat indicator social lain dalam menjamin pembangunan dan pertumbuhan ekonomi: Kebebasan politik menjadi penting dimana masyarakat diberi kesempatan mengawasi keseimbangan jalannya pemerintah. Sementara, transparansi memberi jaminan kepada warga bahwa fungsi kebijakan program dan penganggaran dilaksanakan dengan baik; Kebebasan dalam memperoleh peluang mempostulatkan kebijakan pemerintah yang bersifat inklusif dan non-diskriminatif, yang berarti bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dan memperoleh jaminan dari pemerintah akan hak-hak dasar, seperti jaminan keamanan, jaminan atas hak keuangan, serta jaminan memperoleh layanan maupun pekerjaan tanpa diskriminasi; Perlindungan ekonomi menjamin masyarakat kurang mampu agar dapat berdaya dan keluar dari jerat kemiskinan. Segala indicator ini memiliki indikatornya masing-masing, kebebasan politik misalnya, dapat diukur melalui Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), dimana Prov. Sultra menunjukkan indeks yang menurun dari 74,32 pada tahun 2018 menjadi 67,73 pada tahun 2022. Penurunan ini cukup mengkhawatirkan karena, penurunan ini dapat menunjukkan tidak terserapnya aspirasi masyarakat sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah berpotensi tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat, yang sekali lagi, berpotensi pada kebijakan program dan kebijakan penganggaran yang tidak efektif dan efisien.
Indikator Kemiskinan Lainnya
Selain indikator yang diperkenalkan Sen, juga terdapat indikator yang diperkenalkan oleh Oxford Poverty & Human Development Initiative (OPHI) bersama United Nations Development Programme (UNDP), yang dikenal sebagai Indeks Kemiskinan Multidimensi atau disebut juga Multidimensional Poverty Index (MPI). Indikator yang dikembangkan pada tahun 2010 ini ditujukan sebagai sarana untuk mengukur kemiskinan yang mempertimbangkan dimensi selain indicator keuangan, yang mencakup: Kesehatan, Pendidikan, serta indikator standar hidup untuk menghitung peristiwa dan keparahan kemiskinan dalam suatu populasi.
MPI mengembangkan 3 indikator tersebut secara lebih mendalam, dimana indikator Kesehatan terdiri dari pemenuhan nutrisi dan kematian anak, indicator Pendidikan menggunakan lama sekolah dan tingkat kehadiran sekolah, sementara standar hidup menggunakan penggunaan bahan bakar memasak, sanitasi, air minum, listrik, rumah, dan asset. Alat pengukuran ini digunakan karena berbagai indikator tersebut dianggap mampu mempengaruhi tingkat kemiskinan seseorang. Lama sekolah dan tingkat kehadiran siswa di sekolah, misalnya, mengukur tahun lama sekolah siswa dan tingkat kehadiran siswa di sekolah. Hal ini menegaskan bahwa walau suatu daerah memiliki tingkat tahun lama sekolah yang tinggi, hal ini perlu diiringi dengan tingkat kehadiran siswa yang tinggi untuk menjamin bahwa seluruh (atau jika tidak Sebagian besar) siswa turut menikmati Pendidikan dan karenanya indicator ini setidaknya menjamin lama tahun Pendidikan diiringi dengan kualitas pendidikan yang merata.
Pada tahun 2022, indicator rata-rata lama sekolah di Sulawesi Tenggara memiliki angka 9,25 tahun, yang sementara di Sulawesi Selatan (sebagai pembanding dengan provinsi yang dianggap maju di Pulau Sulawesi) hanya mencapai 8,63 tahun. Menariknya, walau rata-rata lama sekolah di Sulawesi Tenggara lebih tinggi dibanding Sulawesi Selatan, mengapa Pengeluaran per Kapita (disesuaikan) Sulawesi Tenggara lebih rendah (Rp.9,708 juta) dibanding Sulawesi Selatan (Rp.11,430 juta)?
Pergeseran Stigma: Menuju Paradigma Indikator dan Pertumbuhan Baru
Pemutakhiran indikator kesejahteraan bukan merupakan hal yang tabu terjadi pada dunia ekonomi, bahkan dunia pengetahuan. Kuhn bahkan menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan bergeser menuju paradigma baru yang berasal dari pemahaman terbaru setelah hadirnya pemahaman dan fakta-fakta baru pada ilmu pengetahuan. Beberapa tahun sebelum MPI dikembangkan, didasarkan ketidakpuasan terhadap indikator Produk Domestik Bruto (PDB), Sarkozy, Presiden Prancis, menugaskan 3 ekonom ternama: Stiglitz, Sen, dan Fitoussi untuk memperbaharui indikator kemajuan sosial-ekonomi. Karenanya, untuk mencapai hal tersebut, juga dibutuhkan pemahaman terbaru terhadap pengertian kesejahteraan.
Dalam perjalanannya, telah terjadi pergeseran paradigma yang besar dalam memahami pertumbuhan: Indikator PDB mungkin bisa menunjukkan bagaimana kemajuan (progress) ekonomi suatu daerah, namun gagal menunjukkan kesenjangan. Hal ini dikarenakan boleh jadi produktivitas tersebut lebih banyak dinikmati atau diserap kelompok menengah atas. Sehingga, pemahaman terhadap kesejahteraan perlu diperbaharui. Hal ini bukannya mengabaikan fungsi PDB itu sendiri. Namun, paradigma baru ini memperlihatkan bahwa PDB bukan menjadi indicator satu-satunya dalam mengukur kesejahteraan. Indikator MPI yang diperkenalkan oleh OPHI dan UNDP serta pandangan Sen menawarkan pandangan segar dalam memahami pembangunan dan kesejahteraan. Sehingga, diharapkan pengetahuan tersebut dapat membantu pemda dalam merumus-bentuk kebijakan program dan penganggaran yang lebih tepat dalam mengentaskan kemiskinan.
Terakhir, menemukenali akar masalah kemiskinan menjadi penting dalam menuntaskan permasalahan tersebut. Namun, menentukan indikator yang tepat dalam mengatasi akar permasalahan yang lebih jauh berpengaruh terhadap penentuan kebijakan program dan penganggaran juga tidak kalah pentingnya. Hal ini dikarenakan, kekeliruan dalam memahami indikator kemiskinan yang tepat untuk menuntaskan masalah tersebut dapat berakibat fatal: memperburuk keuangan daerah, menghambat kemajuan pada program terkait, berkurangnya anggaran pada program lain akibat harus mengalokasikan pada program kemiskinan yang gagal pada tahun anggaran sebelumnya, serta tentu, tak lupa, turut berpengaruh pada opini bagi pemda setempat.