JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengingatkan pemerintah untuk terus meningkatkan tata kelola penyaluran subsidi dan kompensasi. Karena setiap tahun, anggaran subsidi terus membengkak. Akan tetapi, penyalurannya masih tidak tepat sasaran sehingga dinikmati masyarakat yang tidak berhak.
Hal tersebut ditekankan Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara/Anggota VII BPK Slamet Edy Purnomo dalam kegiatan entry meeting pemeriksaan Kementerian BUMN, BUMN, dan SKK Migas di kantor pusat BPK, Jakarta, beberapa hari lalu.
Slamet menyampaikan, belanja kompensasi BBM dan listrik pada 2022 naik drastis ke Rp352 triliun. Jumlah tersebut melebihi total subsidi untuk semua sektor yang mencapai Rp245 triliun. “Subsidi memang ditargetkan untuk kurang mampu, namun untuk kompensasi nyatanya lebih banyak dinikmati kalangan mampu,” kata Slamet.
Pada 2022, anggaran kompensasi BBM tercatat sebesar Rp288 triliun, empat kali lipat dibanding tahun 2021 yang sebesar Rp68 triliun. “Perlu adanya pembatasan kuota, jenis kendaraan, dan atau orang yang membelinya karena sangat memberatkan APBN.”
Untuk mengatasi kondisi kompensasi BBM dan listrik tersebut, kata dia, Pertamina, PLN, Kementerian BUMN, Kemenkeu, serta Kementerian ESDM harus segera mendorong penyesuaian dengan harga yang sifatnya forward looking. Dengan begitu agar neraca pemerintah maupun BUMN menjadi lebih sehat.
Dalam kesempatan itu, Slamet juga menyinggung soal subsidi pupuk. Ia menjelaskan, terdapat kenaikan subsidi pupuk pada 2022 mencapai Rp 40 triliun dengan volume mencapai 7,59 juta ton. Namun nyatanya masih banyak kelangkaan di masyarakat dan hal ini menimbulkan keresahan.
“Kementerian BUMN perlu koordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk meminimalkan penyimpangan distribusi pupuk bersubsidi ini,” kata Slamet.
Secara umum, terdapat empat risiko utama di subsidi dan kompensasi yang berpengaruh terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKLP). Keempat risiko itu adalah risiko kepatuhan, risiko bisnis, risiko operasional, dan risiko kebijakan.
Slamet juga mengungkapkan soal adanya dispute antara BUMN dan kementerian/lembaga. Menurut Slamet, terdapat sebanyak 36 permasalahan antara BUMN/KKKS dengan kementerian/lembaga senilai Rp41,62 Triliun. Selain itu, ada juga 39 permasalahan antar-BUMN dengan total nilai Rp13,84 triliun.