Temuan dan Rekomendasi BPK Atas Layanan Impor Barang di Ditjen Bea dan Cukai

by Admin
Ilustrasi pemeriksaan BPK (Sumber: Freepik)

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan sejumlah permasalahan terkait layanan impor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan. BPK juga memberikan sejumlah rekomendasi untuk meningkatkan pelayanan impor barang.

Hal itu disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan atas pengelolaan cukai dan pabean terhadap tiga objek pemeriksaan pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan pada semester I 2023. Tiga objek pemeriksaan itu yakni pengelolaan fasilitas tempat penimbunan berikat dan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) tahun 2021 dan 2022, pengelolaan cukai hasil tembakau tahun 2021 dan 2022, serta pengelolaan kepabeanan impor untuk dipakai tahun 2021 dan 2022. Pengelolaan cukai dan pabean dilakukan untuk mendukung Program Prioritas (PP) 8 yakni penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi, khususnya kegiatan prioritas (KP) reformasi fiskal.

Pemeriksaan ini dilakukan dalam upaya BPK mendorong pemerintah dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-8, khususnya target 8.1 yakni mempertahankan pertumbuhan ekonomi per kapita sesuai dengan kondisi nasional, serta TPB ke-16, khususnya target 16.6 yakni mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel, dan transparan di semua tingkat.

Hasil pemeriksaan BPK pada tiga objek pemeriksaan tersebut menyimpulkan bahwa pengelolaan cukai dan pabean telah dilaksanakan sesuai kriteria dengan pengecualian atas beberapa permasalahan. Permasalahan signifikan yang ditemukan di antaranya aplikasi IT Inventory pada perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat (KB), pusat logistik berikat (PLB), gudang berikat (GB), dan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) tidak memadai atau tidak memenuhi kriteria yang disyaratkan dalam Perdirjen BC Nomor PER09/BC/2014.

BPK mengungkap, IT Inventory tidak digunakan secara kontinu dan real time, serta tidak memiliki kemampuan untuk penelusuran posisi barang, tidak terintegrasi dengan sistem pembukuan perusahaan, dan tidak dapat diakses secara online oleh DJBC. Selain itu, CCTV pada perusahaan penerima fasilitas KB dan PLB tidak dapat diakses dan tidak dapat dilakukan playback. Hal ini mengakibatkan adanya peluang penyalahgunaan fasilitas tempat penimbunan berikat dan KITE.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan antara lain agar memerintahkan Dirjen Bea dan Cukai untuk menginstruksikan Direktur Fasilitas Kepabeanan supaya memerintahkan kepada seluruh perusahaan penerima fasilitas terkait untuk mengembangkan sistem IT Inventory yang memenuhi kriteria sesuai ketentuan.

BPK juga mencatat, pelaksanaan monitoring atas fasilitas tempat penimbunan berikat dan KITE belum optimal. BPK menyampaikan, monitoring umum oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC)/Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai (KPUBC) belum dilaksanakan secara periodik minimal satu bulan sekali. Laporan monitoring umum pada beberapa KPPBC atas IT Inventory juga belum menggambarkan kondisi yang senyatanya, bahwa kondisi IT Inventory yang sebenarnya bermasalah.  DJBC juga belum memiliki database yang terintegrasi atas hasil monitoring umum, monitoring khusus, evaluasi mikro, dan hasil audit serta tindak lanjutnya.

Hal ini mengakibatkan Kanwil DJBC dan KPPBC terkait tidak dapat melakukan monitoring tindak lanjut pelaksanaan rekomendasi nontagihan dan berisiko tidak tepat dalam mengambil keputusan pemberian fasilitas tempat penimbunan berikat dan KITE kepada perusahaan atas hasil monitoring umum yang tidak sesuai dengan kondisi yang senyatanya.

BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan agar memerintahkan Dirjen Bea dan Cukai untuk memberikan pembinaan kepada Kepala Kanwil DJBC terkait dan Kepala KPPBC terkait atas kekurangoptimalannya, dan selanjutnya supaya lebih optimal mengawasi dan mengendalikan kinerja bawahannya dalam melaksanakan monitoring sesuai dengan ketentuan tata laksana dan monitoring fasilitas tempat penimbunan berikat dan KITE.

Temuan BPK selanjutnya yakni proses validasi atas pemberitahuan pabean impor (PPI) dalam aplikasi Customs Excise Information System and Automation (CEISA) belum dapat menjamin akurasi data impor. Hal itu disebabkan nilai pabean pada pemberitahuan pabean atas pemasukan barang dari luar daerah pabean ke kawasan bebas/free trade zone (FTZ) tertulis tidak wajar dan tidak benar. Kemudian, aplikasi CEISA tidak memvalidasi secara akurat atas nomor identitas importir dalam pemberitahuan impor barang (PIB), sehingga terdapat penggunaan nomor identitas lebih dari satu untuk importir yang merupakan kedutaan besar, perwakilan negara sahabat dan lembaga internasional, serta terdapat penggunaan dua NPWP oleh satu importir. Ada pula urutan nomor barang pada PIB tidak lengkap dan/atau tidak berurutan serta terdapat nomor barang yang dicatat dengan penomoran “0” atau berulang.

Hal ini mengakibatkan adanya peluang data impor tidak akurat sebagai dasar pengambilan keputusan, serta berpeluang dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.

BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan agar memerintahkan Dirjen Bea dan Cukai antara lain untuk menginstruksikan Direktur Fasilitas Kepabeanan berkoordinasi dengan Direktur Informasi Kepabeanan dan Cukai supaya meningkatkan proses validasi atas nilai pabean pada PPFTZ di CEISA FTZ piloting existing dan nomor identitas kedutaan besar atau perwakilan negara sahabat dan lembaga internasional pada PIB di Aplikasi CEISA. Selain itu, perlu ada pembinaan kepada Direktur Fasilitas Kepabeanan dan Direktur Teknis Kepabeananan, dan selanjutnya supaya lebih optimal melakukan evaluasi atas Aplikasi CEISA untuk memastikan bahwa proses validasi sudah dapat menjamin akurasi data impor.

Dalam pemeriksaan, BPK turut mengungkap pelaksanaan pengambilan foto barang dalam pemeriksaan fisik oleh Pejabat Pemeriksa Fisik (PPF) belum didukung pengendalian yang memadai, seperti ketentuan yang mengatur standar pengambilan foto pemeriksaan fisik barang belum ada. Selain itu, terdapat indikasi penggunaan file foto yang teridentifikasi sama pada lebih dari satu laporan hasil pemeriksaan fisik barang atas 4.178 PIB dan PPFTZ. Hal ini mengakibatkan adanya risiko kesalahan analisis foto oleh pejabat pemeriksa dokumen, tim penelitian ulang, tim audit, dan aparat pengawas fungsional yang dapat berdampak pada kesalahan dalam menetapkan tarif dan/atau nilai pabean serta dalam mengambil keputusan.

BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan agar memerintahkan Dirjen Bea dan Cukai antara lain untuk mengatur standar pengambilan foto pemeriksaan fisik barang, serta menginstruksikan Direktur Kepatuhan Internal dan kepala kantor pabean terkait untuk berkoordinasi dalam melakukan pendalaman atas duplikasi file foto terkait pemeriksaan fisik barang dan selanjutnya memberikan pembinaan kepada PPF terkait atas ketidakcermatannya supaya lebih cermat dalam mengambil dan mengunggah foto hasil pemeriksaan fisik barang.

Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pengelolaan cukai dan pabean pada DJBC Kementerian Keuangan mengungkapkan 32 temuan yang memuat 46 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 40 kelemahan SPI dan 6 ketidakpatuhan sebesar Rp 184,48 juta.

You may also like