Membangun Budaya Kerja Inovatif

by Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Budaya kerja berbasis inovasi dapat lahir dengan mendorong sumber daya manusia di organisasi untuk berkembang tanpa kekhawatiran atas kegagalan. Namun, terdapat sejumlah hal yang perlu diterapkan untuk membangun budaya kerja inovatif.

Hal itu seperti yang dilakukan Google dalam membangun budaya kerja, sehingga kini mampu menjadi raksasa teknologi dunia. Head of Government Affairs and Public Policy Google Cloud Indonesia Brigitta Ratih Aryanti membagikan kisah Google dalam membangun budaya kerja pada Rakor Pelaksana BPK Tahun 2024 yang mengusung tema “Membangun Budaya Kerja untuk BPK Semakin Berkinerja”.

Brigitta menyampaikan, Google bukan sekadar mesin pencari atau search engine seperti yang banyak digunakan oleh pengguna internet di seluruh dunia. Google merupakan perusahaan yang tumbuh berkembang dan kini memiliki banyak anak perusahaan, produk, serta inovasi.

“Sebagai perusahaan global, visi kami adalah mengorganisasi atau mengatur informasi yang ada di seluruh dunia dan menjadikan informasi tersebut bisa diakses secara universal dan bermanfaat,” ujar Brigitta.

Saat ini produk Google bukan sekadar search engine, tapi ada juga Google Mail, Chrome, Google Maps, Youtube, Android, Google Playstore, Google Drive, dan lain-lain. Saat ini, dari delapan produk Google terdapat 1 miliar pengguna.

Selain mampu menghasilkan teknologi dan inovasi, salah satu yang dipandang dari Google adalah kemampuan menciptakan budaya kerja yang inovatif. Google menyadari kunci dari keberhasilan dan pertumbuhan perusahaan adalah orang-orang yang bekerja di dalamnya.

Brigitta menyampaikan, Google pun mengembangkan budaya kerja sehingga bisa diadopsi oleh 120 ribu karyawannya yang berasal dari 150 lebih negara dan memiliki latar belakang budaya berbeda.

Dia menjelaskan, ada empat hal mendasar yang dilakukan oleh Google dalam mengembangkan budaya organisasi berbasis inovasi. Pertama adalah curiosity atau keingintahuan dan rasa penasaran. Kemudian, agency atau mengembangkan niat untuk melakukan sesuatu yang baik. Ketiga, mengembangkan kolaborasi. Keempat, adalah pengambilan risiko atau risk taking.

Curiosity dapat dibangun dengan mempertanyakan berbagai hal, bereksperimen sekaligus tetap mengusung jiwa playful atau jiwa eksploratif yang terinspirasi dari perilaku anak-anak.
“Di Google, hal itu dibuat dengan bagaimana kantor dirancang. Feel kantor Google di seluruh dunia itu sama, yaitu warna warni dan banyak makanan. Ini dinilai dapat memotivasi karyawan, semua karyawan tertarik dan semangat datang ke kantor,” ujarnya

Dengan suasana kantor yang menarik itu pula diharapkan dapat mendorong pemikiran yang out of the box. Konsep kantor pun mengusung open space, sehingga memungkinkan para karyawan bertemu dan bisa berdiskusi dengan karyawan lainnya.

Salah satu ciri khas Google yang kemudian berkembang adalah ‘googleyness‘. Ini adalah istilah internal yang menunjukkan karakter pekerja di Google yakni rendah hati, tapi dia punya rasa penasaran tinggi, punya kesadaran tinggi untuk berdampak pada sekitarnya, dan bisa bekerja dalam kondisi ambigu dan suka belajar.

Untuk mengembangkan curiosity di organisasi di luar Google, menurut Brigitta dapat dimulai dengan mengubah suasana kantor. Membuat kantor menjadi lebih fresh dapat meningkatkan semangat karyawan untuk datang dan bekerja. Bisa pula diberikan tambahan seperti makanan gratis dan lainnya. Kemudian, agency atau bagaimana karyawan bisa memiliki rasa kepemilikan yang tinggi, inisiatif yang tinggi, dan bisa memecahkan masalah dengan baik.

Di Google, ungkap Brigitta, terdapat program 20% Project. Program itu memberikan kesempatan kepada pekerja untuk mengembangkan diri secara profesional di luar bidang yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Dia mencontohkan, seorang pemeriksa di BPK bisa mengambil 20% Project karena punya ketertarikan di bidang SDM. Mengingat di divisi SDM terdapat proyek mengenai transformasi maka auditor bisa mengambil proyek tersebut.

“Ini menarik karena dari sisi karyawan dia memperoleh kesempatan untuk belajar hal baru serta mengembangkan jaringan baru,” ujarnya.

Dari sisi perusahaan atau organisasi, justru bisa mendapatkan “tenaga kerja gratis” karena perusahaan tidak perlu meng-outsource suatu pekerjaan. “Perusahaan bisa memanfaatkan SDM internal yang ada dengan kualitas yang baik,” ujarnya.

Kemudian, dasar dari inovasi adalah kolaborasi. Google berupaya memastikan bahwa setiap anggota tim itu saling terhubung dan terjadi sharing of information.

Salah satu bentuk kolaborasi di Google disebut Googler to Googler (G2G). Brigitta menyampaikan, hal ini mirip dengan 20% Project. Misalnya, seorang karyawan punya ketertarikan untuk mengajar, atau berbagi ilmu ke tim lain maka dia bisa mendaftarkan diri ke G2G.

“Misalnya, saya saat ini berada di bidang kehumasan tapi saya bisa mengajar cara public speaking kepada tim lain yang ada di Google. Ini adalah bagian dari berbagi keterampilan sehingga dapat mengembangkan talenta secara internal,” ujarnya.

Google juga mendorong karyawan dalam hal risk taking atau mengambil risiko. Jadi, bagaimana membuat karyawan mampu bermimpi besar, bereksperimen, dan mencoba memberikan yang terbaik.

“Kalau di Google kami punya istilah berpikir 10 kali. Bagaimana saya bisa membuat proses pekerjaan ini 10 kali lebih baik,” ungkapnya.

Hal ini guna mendorong ambisi besar dari pekerjaan masing masing. Dari hal itu salah satunya kemudian lahir Waymo, inovasi mobil tanpa supir yang dikembangkan Google.

Hal terpenting yang diterapkan di Google adalah karyawan punya kenyamanan untuk mengambil risiko karena ada rasa aman untuk mengalami kegagalan. Menurut Brigitta, hal ini memang sangat sulit diterapkan terutama dalam budaya kerja di Indonesia. Ini karena ketika seseorang gagal itu biasanya muncul tuduhan, dipersalahkan, dan lainnya sehingga seseorang memiliki kecenderungan untuk takut mencoba.

Berdasarkan hasil studi, perasaan keamanan berinovasi itu kemudian berdampak pada kinerja perusahaan. Pendapatan penjualan bisa naik 17 persen pada tim yang merasa aman dibandingkan dengan tim yang merasa terancam dengan kegagalan.

“Cara menciptakan budaya risk taking adalah dengan memunculkan kebiasaan untuk memberikan penghargaan pada mereka yang berani mengambil risiko walau gagal. Terus menekankan untuk mencoba hal baru supaya karyawan berani mencoba,” ujarnya.

You may also like