WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan sejak lama aktif dalam pemeriksaan lingkungan, terutama sejak bergabung dengan ASOSAI Working Group on Environmental Auditing (ASOSAI WGEA). Seiring dengan berjalannya waktu, pemeriksaan terkait dengan lingkungan pun semakin variatif.
Pemeriksa dari Auditorat Keuangan Negara IV Normas Andi Ahmad dalam kegiatan Knowledge Transfer Forum (KTF) belum lama ini menjelaskan, perubahan iklim adalah salah satu dari triple planetary crisis yang tengah dihadapi oleh umat manusia. Hingga kemudian pada 2015, pemimpin-pemimpin dunia berkumpul di Paris untuk menyepakati yang kemudian disebut Paris Agreement. Negara-negara pun menyepakati tiga pilar utama untuk mengatasi perubahan iklim.
Pertama, menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius. Kemudian, meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Terakhir adalah kontribusi pendanaan dari negara maju.
Adapun Indonesia dalam kerangka Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021, menjadikan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagai prioritas. Aksi mitigasi meliputi upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui peningkatan serapan karbon dan penguatan cadangan karbon, seperti dengan restorasi hutan dan lahan gambut.
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan telah melakukan serangkaian pemeriksaan dalam beberapa tahun terakhir untuk mendukung rencana aksi perubahan iklim di Indonesia. Pemeriksaan-pemeriksaan ini mencakup berbagai sektor, mulai dari energi, kehutanan, hingga infrastruktur publik, dengan fokus pada penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan peningkatan keberlanjutan lingkungan.
Beberapa temuan dari pemeriksaan BPK mencakup skenario net zero emission yang diproyeksikan akan meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik sebesar USD 0.020/kWh atau 32.79 persen dibandingkan skenario business-as-usual. Hal ini juga diperkirakan akan meningkatkan belanja subsidi listrik secara signifikan pada tahun 2030, dengan kenaikan mencapai 159,72 persen dibandingkan tahun 2021.
BPK juga menemukan bahwa kebutuhan investasi untuk transisi energi diperkirakan mencapai USD 1,1 triliun atau sekitar USD 28,5 miliar per tahun. Namun, hingga saat ini, pemerintah belum mengidentifikasi sumber pendanaan yang jelas, termasuk skema pendanaan berupa pinjaman atau hibah.
Selain itu, rencana penghentian dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) belum dilengkapi dengan rencana pembangunan pembangkit pengganti yang memadai, dan mitigasi risiko terhadap aset-aset yang berpotensi terbengkalai belum teridentifikasi dengan baik.
Dalam konteks pengembangan energi terbarukan, BPK mencatat bahwa sebagian besar komponen Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) masih diimpor dari Cina. Industri komponen PLTS domestik saat ini masih berada pada tahap perakitan, dan realisasi pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) masih di bawah ketentuan.
BPK juga menyoroti kurangnya optimalisasi teknologi untuk pengendalian emisi pada PLTU, serta kurangnya koordinasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam pengawasan emisi GRK.