JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting tahun 2022 dan 2023. Pemeriksaan dilaksanakan terhadap 3 objek pemeriksaan (obrik) di pemerintah pusat.
Mulai dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kemudian termasuk juga 44 obrik di pemda yang terdiri atas 40 pemerintah kabupaten, 3 pemerintah kota, dan 1 pemerintah provinsi beserta instansi terkait lainnya.
Pemeriksaan upaya pemerintah dalam percepatan penurunan prevalensi stunting dilakukan untuk mengawal pelaksanaan Prioritas Nasional (PN) 3 pembangunan sumber daya manusia. Termasuk Program Prioritas (PP) 3 – peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, khususnya Kegiatan Prioritas (KP) 1, yaitu peningkatan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana, dan kesehatan reproduksi.
Kemudian KP 2 – percepatan perbaikan gizi masyarakat dan KP 5 – penguatan sistem kesehatan dan POM. Selain itu, pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya BPK mendorong pemerintah dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yaitu tujuan ke-2, terutama pada target 2.2.
Di sini dijelaskan, menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi, termasuk pada tahun 2025 mencapai target yang disepakati secara internasional untuk anak pendek dan kurus di bawah usia 5 tahun. Kemudian memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta manula.
BPK mencatat terdapat upaya yang telah dilakukan Kemenkes, BKKBN, BPOM, dan pemda untuk mencapai target prevalensi stunting sebesar 14 persen di tahun 2024. Hal itu antara lain capaian indikator intervensi spesifik tahun 2022 di Kemenkes telah melebihi target yang ditetapkan pada 4 indikator.
Hal ini antara lain, persentase ibu hamil yang mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) minimal 90 tablet, persentase ibu hamil kurang energi kronis (KEK) mengonsumsi makanan tambahan berbasis pangan lokal sesuai standar. Kemudian persentase balita gizi kurang yang mendapat makanan tambahan, dan persentase balita gizi buruk yang mendapat tata laksana.
Selain itu, realisasi atas pembayaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 96,6 juta jiwa dari target rencana kerja sebesar 96,8 juta jiwa. Meski begitu, hasil pemeriksaan menyimpulkan masih terdapat permasalahan yang apabila tidak segera diperbaiki, maka akan memengaruhi efektivitas upaya Kemenkes, BKKBN, dukungan BPOM, dan pemda dalam percepatan penurunan prevalensi stunting.
BPK menemukan bahwa Kemenkes belum sepenuhnya menyelenggarakan kebijakan perencanaan dan penganggaran program percepatan penurunan stunting (PPS) tahun 2022 dan 2023 dengan melibatkan multipihak. Mulai dari Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
Salah satu tujuan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting adalah melakukan penguatan upaya konvergensi perencanaan dan penganggaran PPS tingkat pusat, daerah, desa dan pemangku kepentingan yang berkesinambungan.
“BPK pun merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan sekretaris jenderal untuk berkoordinasi dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat.”
Kemenkes melalui Permenkes Nomor 48 Tahun 2017 telah menyusun pedoman perencanaan dan penganggaran bidang kesehatan meliputi perencanaan dan penganggaran yang menggunakan APBN dan sumber dana lain yang digunakan untuk dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun demikian, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Permenkes Nomor 48 Tahun 2017 dalam hal perencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi (monev) kegiatan pembiayaan JKN/Kartu Indonesia Sehat (KIS) belum mengacu pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021.
Padahal di dalamnya menjelaskan bahwa PPS di Indonesia dilakukan secara holistik, integratif, dan berkualitas melalui koordinasi antarpihak. Hal ini mengakibatkan adanya risiko pelaksanaan program kegiatan intervensi spesifik dan intervensi sensitif dalam rangka PPS di lingkungan Kemenkes tidak sesuai sasaran pada Perpres Nomor 72 Tahun 2021.
BPK pun merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan sekretaris jenderal untuk berkoordinasi dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat terkait perencanaan dan penganggaran program PPS. BPK juga menginstruksikan unit kerja terkait agar dalam menyusun perencanaan dan penganggaran terkait percepatan penurunan stunting menggunakan data Keluarga Risiko Stunting (KRS) dan sasaran Perpres Nomor 72 Tahun 2021.
BPK juga menemukan Kemenkes belum melaksanakan monitoring data rutin melalui Aplikasi Sistem Informasi Gizi (Sigizi) Terpadu dalam modul aplikasi pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) secara memadai. Kualitas data rutin dalam aplikasi/modul e-PPGBM belum sepenuhnya mencakup kelengkapan data, akurasi data, ketepatan waktu, dan konsistensi data. Sementara data rutin terkait gizi dan stunting belum sepenuhnya terintegrasi melalui Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK).
Selain itu, data pada aplikasi/modul e-PPGBM belum dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan intervensi spesifik. Hal ini mengakibatkan adanya potensi tidak tercapainya tujuan dari Aplikasi Sigizi Terpadu yaitu memperoleh informasi status gizi individu dan kinerja program gizi secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan untuk penyusunan perencanaan dan perumusan kebijakan gizi untuk mendukung PPS.
BPK juga telah merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan agar memerintahkan sekretaris jenderal untuk menginstruksikan Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) mereviu hasil pekerjaan yang telah diselesaikan (product review). Termasuk pelaksanaan rilis penerapan sistem informasi (aplikasi dan basis data) ASIK.
BPK juga merekomendasikan berkoordinasi dengan Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Antara lain untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kelemahan dalam rangka mengintegrasikan data pada aplikasi/modul e-PPGBM ke ASIK. Kemudian Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat untuk melaksanakan pengendalian aplikasi yang meliputi pengendalian kelengkapan, pengendalian akurasi, dan pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data.
Rekomendasi juga memerintahkan Direktur Gizi dan KIA untuk melakukan verifikasi dan validasi secara berkala atas hasil analisis data pada aplikasi/modul e-PPGBM. Kemudian mengidentifikasi kelemahan dan kebutuhan menu pelaporan pada aplikasi/modul e-PPGBM secara lengkap untuk menjamin tersedianya data rutin yang berkualitas.