JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas kesiapan pengembangan energi baru terbarukan untuk penyediaan energi bersih dan terjangkau dalam sektor ketenagalistrikan tahun 2021 sampai semester I tahun 2023 dilaksanakan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta instansi terkait lainnya.
Pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya BPK dalam mendukung Prioritas Nasional (PN) 5 – penguatan infrastruktur, Program Prioritas (PP) 4-energi dan ketenagalistrikan, pada Kegiatan Prioritas (KP) 1-keberlanjutan penyediaan energi dan ketenagalistrikan. Selain itu, pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya BPK dalam mendorong pemerintah dalam mencapai TPB ke-7 menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua.
BPK mencatat, pemerintah telah melakukan upaya antara lain yakni menyusun peta jalan menuju Net Zero Emission (NZE) yang menjelaskan skema proyeksi untuk mengurangi emisi dan meningkatkan produksi energi melalui transisi energi ke Energi Baru Terbarukan (EBT) dan energi bersih. Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Hasil pemeriksaan menyimpulkan terdapat permasalahan utama yang diidentifikasi dapat memengaruhi secara signifikan upaya pemerintah terkait kesiapan pengembangan EBT untuk penyediaan energi bersih dan terjangkau dalam sektor ketenagalistrikan. Permasalahan tersebut, antara lain keterbatasan kemampuan operator listrik dalam memenuhi target pembangunan infrastruktur jaringan listrik.
Keterbatasan tersebut baik dari segi kemampuan pendanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan Commercial Operation Date (COD) pembangunan jaringan transmisi dan gardu induk yang terlambat dan belum dapat terealisasi. Hal tersebut mengakibatkan koneksi jaringan ketenagalistrikan berpotensi belum dapat mendukung penyediaan listrik dan penghematan Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
BPK merekomendasikan Menteri ESDM untuk segera melakukan perbaikan, antara lain, menyempurnakan mekanisme penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang mampu mengakomodir kebutuhan para pihak yang terlibat dalam penyediaan dan pembangunan jaringan transmisi, gardu, dan aktivitas perencanaan dan pembangunan lainnya yang terkait, termasuk didalamnya pengembangan kerangka pendanaan, dan pembiayaan, serta mengurai kendala dan sinergi percepatan penyelesaian proyek infrastruktur jaringan.
Permasalahan selanjutnya yakni kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menimbulkan hambatan signifikan dalam pembangunan pembangkit EBT. Hal tersebut terjadi karena belum memadainya kapasitas produksi pembangkit EBT dalam negeri.
Selain itu, juga terdapat pendanaan proyek pembangunan pembangkit EBT yang terkendala klausul TKDN. Lembaga keuangan seperti Asian Developmen Bank (ADB), World Bank, Japan International Cooperation Agency (JICA) hingga bank pembangunan dan investasi Jerman yaitu Kreditanstalt fur Wiedarautiau (KFW) Bankengruppe mengganggap kebijakan unsur TKDN tidak selaras dengan batas minimal yang ditetapkan oleh masing-masing bank.
Hal ini mengakibatkan adanya risiko pembatalan pendanaan dari luar negeri, keterlambatan COD proyek dan pemenuhan kebutuhan listrik, biaya proyek menjadi jauh lebih tinggi karena delay dan penalti, serta klaim penjaminan pemerintah.
BPK telah merekomendasikan Menteri ESDM untuk segera melakukan perbaikan antara lain berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) dan Kementerian Perindustrian terkait evaluasi keselarasan regulasi atas persyaratan TKDN dan pengadaan sehingga dapat mengakomodasi pendanaan dari luar
negeri tanpa mengorbankan pembangunan industri dalam negeri dan pengembangan EBT.
Kemudian, kesiapan pendanaan pembangunan pembangkit EBT belum memadai. Terdapat keterbatasan operator listrik untuk mendanai pembangunan pembangkit energi terbarukan. Secara keseluruhan selama 2021 sampai semester I tahun 2023, realisasi pendanaan yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur tenaga listrik dalam RKAP PLN di bawah kebutuhan pendanaan yang diperlukan. Dari investasi yang dianggarkan sebesar Rp 230,2 triliun hanya terealisasi sebesar Rp 138,2 triliun atau sebesar 60,03 persen dari RKAP atau sebesar 28,39 persen dari proyeksi investasi RUPTL.
Selain itu, skema pendanaan pengembangan EBT belum terealisasi secara optimal dimana belum ada penyusunan Komite Pengarah yang mendukung skema pendanaan Energy Transition Mechanism (ETM), serta belum terbentuknya struktur tata kelola Just Energy Transition Partnership (JETP). Hal tersebut mengakibatkan tidak tercapainya proyek pengembangan EBT dan bauran EBT sesuai target dan potensi defisit kelistrikan di beberapa daerah.
BPK telah merekomendasikan Menteri ESDM untuk segera melakukan perbaikan antara lain berkoordinasi dengan Kemenkomarves, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN untuk mendorong segera dilakukan penyusunan komite pengarah skema pendanaan ETM, penyusunan struktur tata kelola JETP, mengidentifikasi secara detail skema, sumber, dan
pembagian porsi pendanaan serta mendorong lembaga keuangan dalam negeri untuk mampu membiayai pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan suku bunga yang kompetitif.
Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan kinerja atas kesiapan pengembangan EBT untuk penyediaan energi bersih dan terjangkau dalam sektor ketenagalistrikan mengungkapkan 7 temuan yang memuat 13 permasalahan ketidakefektifan.