Bagi Direktur Penelitian dan Pengembangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Emmy Mutiarini, kesempatan perempuan untuk meniti karier sudah terbuka luas saat ini. Menurutnya, kesuksesan perempuan akan sangat ditentukan dengan bagaimana cara dia meningkatkan kualitas diri dalam menghadapi tuntutan profesi.
Emmy mengakui, perempuan juga memiliki peran ganda, baik di kantor maupun di rumah. Dengan begitu perlu ada keterampilan dalam mengatur skala prioritas. Kepada Warta Pemeriksa, Emmy membagikan kisah perjalanan kariernya dan beberapa pandangan terhadap kepemimpinan perempuan di BPK saat ini. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana kisah perjalanan karier Ibu di BPK hingga saat ini?
Saya masuk di BPK itu pada 1997. Itu angkatan kedua dari program penerimaan akuntan selama lima tahun. Angkatan pertamanya adalah pada 1996.
“Kalau bicara tentang peluang, saya kira di BPK itu sudah terbuka kesempatan dan peluang yang sama baik untuk perempuan maupun laki-laki.”
Setelah penerimaan itu, saya langsung ditempatkan di BPK Perwakilan Sumatra Selatan. Karena memang, asal saya dari sana. Sembilan tahun saya bertugas di sana, kemudian saya mendapatkan promosi menjadi kepala seksi di Lampung pada 2006. Kemudian, pada pertengahan 2012, saya mendapatkan promosi menjadi kasubaud di Jawa Barat.
Selama lima setengah tahun, saya bertugas di Jawa Barat. Setelah itu, sempat di Jawa Tengah dan kemudian menjadi kepala auditorat. Jadi, hampir selama 20 tahun karier saya itu murni berada di jalur pemeriksaan dan sebagian besar dalam lingkup APBD.
Ketika promosi menjadi eselon II, saya ditempatkan di Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) II.A yang menangani pajak dan bea cukai. Itu adalah perubahan yang cukup signifikan. Saya perlu memahami proses bisnis tersebut, termasuk juga dengan pernak-pernik perpajakan yang sebelumnya tidak ada di daerah. Itu menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga.
Kemudian, pada 2020, saya pindah ke Direktorat Litbang BPK. Itu juga menjadi sebuah tantangan baru karena saya belum pernah berada di porsi penunjang di BPK. Selama ini, saya kerap bertemu dengan orang luar, memperbaiki orang luar. Namun, ternyata dalam diri kita sendiri masih banyak yang juga perlu kita perbaiki untuk kemajuan BPK.
Pengalaman selama 20 tahun karier saya di jalur pemeriksaan membantu saya menjalani dua tahun ini menjadi direktur Litbang BPK. Kolaborasi pengalaman masa lalu tersebut saya manfaatkan untuk pengembangan BPK juga.
Ketika saya pindah, ketua BPK saat itu adalah Pak Agung Firman Sampurna dan wakilnya Pak Agus Joko Pramono. Saya tahu mereka punya banyak visi ke depan untuk membawa BPK lebih maju. Sehingga, ada banyak hal kegiatan strategis yang dikerjakan oleh Litbang.
Waktunya cukup tepat untuk merevisi SPKN 2017, kemudian kita juga menyiapkan peta jalan BPK di masa depan menuju perubahan teknologi dan segala macamnya. Dari sisi kelembagaan, kita berupaya mendukung peta jalan BPK sampai 2024. Salah satunya yakni dengan pembentukan satker mandiri sebagai cikal bakal badan layanan umum (BLU) di BPK. Kita belajar dan mencari tahu dari negara-negara lain prosesnya seperti apa. Semua itu untuk mendukung BPK menembus panel auditor eksternal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2024.
Jadi, memang perlu ada pengelolaan yang lebih profesional terkait dengan kegiatan internasional BPK di luar. Itulah salah satu pengembangan kelembagaan strategis yang dilakukan Litbang.
Bagaimana Ibu melihat peluang dan tantangan para perempuan di BPK saat ini?
Kalau bicara tentang peluang, saya kira di BPK itu sudah terbuka kesempatan dan peluang yang sama baik untuk perempuan maupun laki-laki. Namun, hal itu kembali lagi kepada perempuannya itu sendiri. Menurut saya, tantangan perempuan itu ada dua. Tantangan dari internal dia sendiri, yakni kemampuan meningkatkan kapasitas, entah itu dengan belajar atau berhubungan dengan yang lainnya.
Kemudian, tantangan kedua datang dari luar dirinya. Hal ini lebih datang dari faktor peran ganda seorang perempuan. Terutama ketika dia sudah menikah, maka dia akan memiliki peran ganda. Bagaimana mengurus urusan rumah dan kantor.
Namun, sepanjang yang saya alami, BPK sudah memberikan peluang yang sama bagi setiap pelaksana untuk memperoleh posisi-posisi strategis. Jadi memang tergantung perempuannya apakah dia mau mengembangkan diri baik secara kompetensi atau kemampuan networking-nya.
Secara kelembagaan memang tidak ada diskriminasi. Meski begitu, karena saya mantan kepala subauditorat yang merencanakan pemeriksaan, penempatan pemeriksa perempuan tetap akan mempertimbangkan lokasi. Misalnya, lokasi ekstrem dan risiko keamanan tinggi tetap akan menjadi pertimbangan saya dalam menempatkan pemeriksa perempuan.
Pertimbangan kedua berkaitan dengan kebutuhan keluarga. Contohnya, apabila pegawai perempuan tersebut memiliki anak yang sedang ujian sekolah saya usahakan untuk memberikan penugasan berada di sekitar domisilinya.
Hal itu tentunya bisa diakomodasi apabila kedua belah pihak saling terbuka. Kita bisa saling jujur menyampaikan kondisi yang dihadapi dan dibahas bersama.
Menurut saya, menjadi perempuan itu mungkin diberkahi dengan empati yang lebih tinggi. Sehingga, perempuan itu bisa merasakan atau menyelami persoalan mitra kerja dan menjalin komunikasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan adanya hal itu, diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan suatu tim pemeriksa dan berujung pada tugas bisa dikerjakan dengan hasil optimal.
Harapan Ibu untuk para perempuan di BPK?
Mungkin hati perempuan itu lembut, sehingga dengan adanya kritikan menjadi mudah tergores. Kalau saya memandangnya, hal itu kita terima saja. Kita pandang itu sebagai sesuatu yang positif untuk perbaikan diri kita sendiri. Jangan pandang itu sebagai serangan secara pribadi. Kita harus bersikap profesional. Kalau ada kesalahan maka kita perbaiki. Kita meminta maaf apabila ada kesalahan tapi tidak perlu dimasukkan ke dalam hati.
Ketika saya pertama kali menempati posisi direktur Litbang BPK, ada juga pihak yang mengeluh karena stres pekerjaan. Kalau menurut saya, stres itu adalah hal yang normal sebagai manusia. Stres paling sederhana contohnya adalah ketika waktu pulang kerja kita memikirkan perjalanan akan macet atau tidak. Jadi saya kira stres itu sangat normal.
Menurut saya, penting bagi kita untuk bisa mengelola stres tersebut. Apakah itu akan berdampak negatif kepada kita atau tidak? Kalau itu bisa memperbaiki kualitas kita sebagai manusia atau pegawai maka harus kita jalani.
Tapi kalau kita memandangnya negatif maka bisa menjadi penyakit. Jadi, jika pekerjaan menumpuk ya coba dikerjakan satu per satu.
Sehingga, yang terpenting adalah bagaimana kita memandang suatu pekerjaan atau tugas. Kalau kita memandangnya sebagai beban maka akan terasa semakin berat dan ujungnya kita tidak punya semangat untuk menyelesaikannya. Jalani saja dan kerjakan saja.
Tentukan prioritas sesuai tugas yang dijalani, kelola stres supaya bisa membantu kita menjalankan tugas, dan terakhir perempuan itu tahu bahwa dirinya berharga. Jadi, jangan sampai lelah untuk mengejar impian atau kebahagiaan. Jadikan pekerjaan ini sebagai bagian dari ibadah.