BPK Bisa Buat K/L Patuhi Program Belanja Produk Dalam Negeri

by Admin 1
Ilustrasi produk dalam negeri (Sumber: Freepik)

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Presiden Joko Widodo terus menegaskan kepada seluruh unsur pemerintah untuk meningkatkan belanja produk dalam negeri. Hal itu pun mendorongnya untuk menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022.

Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh mengatakan, pihaknya pun mendapatkan instruksi untuk mengawal dan mengawasi realisasi program tersebut. Kepada Warta Pemeriksa, Ateh menyampaikan strategi BPKP dalam mengawal program itu dan sejumlah kendala yang harus dihadapinya. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana BPKP mengawasi pengelolaan program pemerintah atas peningkatan belanja produk dalam negeri saat ini?

Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi Dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kita semua mendapatkan tugas untuk melaksanakan pengawasan program ini, termasuk efektivitas dan efisiensinya. Kita semua sudah tahu bahwa program Bangga Buatan Indonesia itu sudah lama dilakukan, bahkan sejak era presiden sebelum saat ini.

“BPK juga bisa membantu memeriksa karena memang BPK punya kewenangan untuk itu. BPK juga bisa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau kinerja untuk mengecek perkembangan industri Tanah Air seperti obat, alat kesehatan, baja, dan tekstil dalam mendukung upaya belanja produk dalam negeri.”

Mengapa ini penting? Saat ini, tengah terjadi krisis pangan dan energi di seluruh dunia. Setelah pandemi Covid-19, ada perang Rusia-Ukraina yang dampaknya luar biasa. Apalagi, Rusia dan Ukraina memiliki peran besar dalam pasokan energi dan komoditas pangan ke seluruh dunia. Sehingga, dampaknya besar sekali.

Dengan adanya pandemi Covid-19 ditambah tantangan tersebut, maka kita perlu menyiapkan langkah-langkah agar kita bisa tetap survive atau bertahan. Ini artinya, selain kita mulai melakukan hilirisasi industri dan meningkatkan produktivitas, hal yang paling penting adalah kita juga menggunakan produksi kita sendiri dari dalam negeri. Negara lain sudah mulai melindungi produk-produk mereka sendiri. Banyak negara yang mulai melarang ekspor untuk komoditas tertentu.

Pada awal 2022, BPS menghitung dan melaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa terdapat angka impor senilai Rp400 triliun. Apabila produk impor tersebut disubstitusi menjadi produk dalam negeri itu akan menghasilkan tambahan PDB sebesar 1,6-1,7 persen untuk pertumbuhan. Hal itu juga bisa membuka dua juta lapangan kerja baru. Dari sana, Presiden kemudian minta diaktifkan kembali program Bangga Buatan Indonesia ini.

Presiden Jokowi sempat bertanya kepada koordinator program, yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, ‘Apa bedanya program kali ini dibandingkan program sebelumnya?’

Perbedaannya, sekarang ini kita lakukan secara lebih komprehensif. Artinya, tidak hanya dari sisi demand. Bukan hanya kita meminta kementerian/lembaga (K/L), pemerintah daerah, dan BUMN untuk membeli produk dalam negeri, tapi tidak meninjau sisi pasarnya atau tempat bertemunya antara supply dan demand. Dalam belanja kementerian/lembaga, pasar itu artinya berupa e-Katalog yang menjadi marketplace-nya.

Kemudian, yang dilihat lebih serius adalah sisi supply atau industri yang menghasilkan produk substitusi impor tersebut. Kita hanya menyuruh orang membeli produk dalam negeri tapi barangnya tidak ada. Akhirnya, program itu tidak jalan.

Jadi, pendekatan kali ini lebih komprehensif. Kita lihat dari sisi supply, mana saja produsen kita yang bisa menghasilkan produk substitusi impor. Kemudian, siapa nanti yang akan membelinya dari sisi pemerintah. Selain itu, bagaimana cara menemukan antara supply dan demand ini supaya bertemu di marketplace.

Selain itu, perbedaannya adalah program kali ini diawasi secara ketat dan intensif. Setiap langkah itu diawasi secara serius dan lebih ketat dari sebelumnya.

Target pada tahun ini adalah melakukan substitusi produk impor sebesar Rp 400 triliun seperti yang dihitung BPS. Dari sisi demand, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan BUMN dikerahkan untuk membeli produk dalam negeri. Kemudian, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) kita minta untuk membenahi e-Katalog baik terkait sistem maupun digitalisasinya.

Kemudian, terkait supply, Kemenperin diminta untuk mengawasi produksi dari dalam negeri. Misalnya, mendukung proses sertifikasi atau mendorong UMKM untuk bisa menyediakan barang untuk kebutuhan pemerintah. Di situ juga dilaksanakan business matching.

Dari upaya-upaya tersebut, diperoleh komitmen untuk menggunakan anggaran untuk produk dalam negeri sebesar Rp 830 triliun. Per semester I 2022, komitmen tersebut sudah terealisasi sebesar Rp 298,6 triliun dari K/L, pemda, dan BUMN.

Memang angka itu masih jauh dibandingkan komitmen Rp 830 triliun. Tapi kami terus awasi dan dampingi seluruh proses tersebut.

Misalnya, kami menemukan ada produk tertentu yang tertulis sebagai barang lokal padahal itu adalah barang impor. Ini kita awasi semuanya. Kita juga sudah sampaikan ke Presiden Jokowi bahwa ada 823 barang impor yang banyak dibeli tapi sebenarnya ada substitusinya di dalam negeri.

Bagaimana koordinasi BPKP dengan APIP di pusat dan daerah dalam pengelolaan belanja produk dalam negeri?

APIP memiliki peran penting karena tentu BPKP tidak bisa bekerja sendiri. Kami juga sudah kumpulkan APIP K/L, pemda, dan BUMN dalam Rakornas Pengawas Internal dalam rangka penyatuan langkah pelaksanaan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).

Kami telah membuat aplikasi untuk pengawasan, yakni Siswas P3DN. Aplikasi itu membantu APIP dalam melaksanakan pengawasan P3DN di lingkungan yang menjadi kewenangannya. Dengan demikian, para APIP dapat menjaga program ini di instansi masing-masing.

Apa saja tantangan dan kendala yang dihadapi oleh BPKP dalam mengawasi jalannya kebijakan P3DN?

Pelaksanaan Program P3DN masih dalam tahap awal, sehingga tantangan dalam pengawasan yang muncul antara lain sistem informasi yang mendukung pengawasan pelaksanaan program masih dalam tahap pengembangan. Masih banyak kekurangan dan belum terintegrasi.

Informasi transaksi produk dalam negeri (PDN) dan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) juga tidak lengkap tersedia. LKPP hanya memiliki informasi proses pengadaan (e-Tendering dan e-Katalog) sampai dengan penetapan pemenang namun informasi realisasi PDN maupun TKDN serta pembayaran tidak tersedia.

Selain itu, belum ada pedoman atau panduan penghitungan TKDN dari kementerian yang berwenang (Kemenperin) untuk memudahkan pihak terkait dalam melakukan penghitungan TKDN atas produk dalam negeri. Sehingga, perlu ada sistem yang terintegrasi antara penyusunan rencana penganggaran sampai realisasi PDN dan TKDN. Kemenperin juga perlu membuat daftar inventarisasi PDN lengkap dan tidak hanya TKDN.

Kemenperin juga perlu membuat kebijakan untuk peningkatan sertifikasi TKDN dengan berbagai metode dan tidak hanya melalui surveyor independen. Kemenperin juga perlu melakukan identifikasi produk strategis yang perlu dikembangkan, menyusun rencana pengembangan, dan melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan TKDN.

Sinergitas apa yang bisa dikembangkan antara BPKP dan BPK dalam mendukung program P3DN ini?

BPK jelas bisa membantu untuk menghukum dan membuat K/L, pemda, dan BUMN menjadi patuh. Presiden meminta minimal 40 persen harus belanja produk dalam negeri. Masih ada 26 K/L yang komitmennya di bawah itu.

BPK juga bisa membantu memeriksa karena memang BPK punya kewenangan untuk itu. BPK juga bisa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau kinerja untuk mengecek perkembangan industri Tanah Air seperti obat, alat kesehatan, baja, dan tekstil dalam mendukung upaya belanja produk dalam negeri.

You may also like