Oleh Erik Purnama Putra, Wartawan Republika (Juara I Lomba Karya Jurnalistik BPK 2020 Kategori Opini)
Rencana pemerintah yang ingin memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim), masih menimbulkan berbagai pertanyaan yang belum terjawab di benak sebagian masyarakat. Selain kesiapan pembangunan infrastruktur yang harus dilakukan dalam tempo singkat–sebelum 2024 harus jadi–persoalan pendanaan juga mesti dijelaskan secara detail dan rinci agar tidak menimbulkan kecurigaan di beberapa kalangan.
Pasalnya, anggaran pemindahan ibu kota negara tidak masuk dalam APBN 2020. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menegaskan, pemerintah belum menganggarkan dan melakukan kegiatan pembangunan ibu kota baru pada 2020. Hal itu disampaikan langsung Basuki saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (21/4). Pun dalam APBN 2021, juga belum ada tanda-tanda alokasi anggaran khusus untuk pembangunan infrastruktur dasar di lokasi ibu kota baru.
Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di berbagai kesempatan mengatakan, perpindahan ibu kota negara dimulai pada 2024. Dengan kata lain, hanya ada waktu tiga tahun efektif (2021-2023) bagi pemerintah untuk mengebut pembangunan sebuah kota baru secara lengkap supaya proses pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara terwujud. Apakah bisa pemerintah dalam waktu sesingkat itu bisa membangun jalan raya dan sistem transportasi umum, gedung untuk kantor presiden, kementerian, gedung sekolah, serta lembaga negara, termasuk Markas Besar (Mabes) TNI dan Polri sekaligus? Apakah masuk akal ratusan ribu rumah dinas yang dijanjikan dapat ditempati para pejabat dan aparatur sipil negara (ASN) yang harus ikut boyongan ke sana sudah selesai dibangun?
Tentu kita dapat dengan mudah menjawabnya. Kecuali Bandung Bondowoso yang sanggup menyelesaikan pembangunan Candi Prambanan dalam tempo semalam, sepertinya sulit bagi pemerintah, meski harus mengerahkan tenaga kerja secara besar-besaran untuk menyiapkan pembangunan ibu kota baru secara komplet di Kaltim. Selain lahannya seluas 56 ribu hektare yang merupakan eks garapan sawit di hutan tanaman industri, jalur menuju ke sana pun harus melalui medan berat karena wilayahnya berupa perbukitan. Belum lagi, jumlah ASN yang pindah pada tahap awal mencapai 180 ribu orang, yang berarti melebihi penduduk Penajam Paser Utara sebanyak 157.711 orang berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, menandakan perlu kerja ekstra keras untuk merealisasikannya.
Karena itu, hampir mustahil bagi pemerintah untuk bisa menuntaskan sebuah kawasan yang masih berupa tanah liat disulap menjadi ibu kota negara dengan konsep modern, dalam waktu terbilang singkat tanpa didukung rincian anggaran secara jelas memadai. Bahkan, meski anggaran sudah tersedia, butuh bertahun-tahun bagi pemerintah dengan dukungan kekuatan investor besar sekali pun untuk bisa membangun sebuah kota baru secara lengkap, seperti Canberra di Australia maupun Abu Dhabi di Uni Emirat Arab (UEA), laiknya dicontohkan Presiden Jokowi kala mengunjungi kedua ibu kota negara tersebut pada awal tahun ini.
Kondisi semakin tidak memungkinkan, lantaran pandemi Covid-19 membuat pemerintah harus merealokasi anggaran mencapai Rp 405,1 triliun dari total APBN 2020 sebesar Rp 2.233,2 triliun untuk bidang penanganan kesehatan dan stimulus ekonomi. Dengan mengacu prediksi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahwa pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 0,2 persen, dan bisa minus 2,6 persen pada tahun ini maka pemerintah untuk beberapa tahun ke depan, akan disibukkan atau fokus pada pemulihan ekonomi terlebih dulu dibandingkan ambisi mewujudkan proyek mercusuar, khususnya pemindahan ibu kota.
Pemerintah sepertinya akan mengambil langkah menunda penyelesaian beberapa proyek infrastruktur yang menguras dana besar untuk dialihkan guna meningkatkan daya beli masyarakat agar pertumbuhan ekonomi kembali pulih seperti sedia kala di angka 5 persen. Namun, belum diketahui apakah jalan yang ditempuh peemrintah dengan membatalkan proyek perpindahan ibu kota atau memakai cara lainnya. Pasalnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2019 melansir, pemindahan ibu kota membutuhkan anggaran sebanyak Rp 466 triliun. Dari jumlah itu, APBN hanya mengambil porsi Rp 30,6 triliun (6,56 persen) dan sisa kebutuhan anggaran dipenuhi swasta Rp 435,4 triliun (93,43 persen).
Itu pun anggaran Rp 340,4 triliun disediakan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), serta sisanya Rp 95 triliun disediakan swasta murni. Dengan kondisi perekonomian dihantam pandemi Covid-19, sektor swasta yang ikut terpukul hingga banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau merumahkan pekerjanya, sulit bagi mereka untuk tertarik mendanai pembangunan ibu kota baru. Meskipun dengan iming-iming tukar guling aset berupa swasta (baik investor lokal maupun asing) mendapatkan gedung pemerintah yang berlokasi strategis di jalan protokol Jakarta dengan kompensasi membangun infrastuktur dasar dan lengkap di Penajam Paser Utara, mereka pun akan pikir-pikir menerima tawaran tersebut dengan situasi sekarang.
Pihak swasta pasti lebih memilih untuk memulihkan diri terlebih dahulu agar roda perusahaan kembali normal sebelum pandemi Covid-19. Boro-boro mau berinvestasi dalam jumlah besar, sektor swasta tentu ingin beradaptasi dengan pemulihan internal perusahaan, lantaran kondisi berat yang dihadapi sekarang belum dipastikan kapan berakhirnya.
Untuk itu, tidak ada salahnya bagi pemerintah mengkaji ulang atau kalau perlu menunda proyek perpindahan ibu kota yang dimulai pada 2024. Memang ambisi Presiden Jokowi itu bisa bubar kalau ia tidak menjabat sebagai RI 1 lagi. Belum tentu penerusnya memiliki ide yang sama dengannya dalam hal pemindahan ibu kota. Meski begitu, dengan bersikap realistis dan bijak, semestinya pemerintah dapat dengan jernih untuk mengambil keputusan dengan tidak memaksakan proyek ibu kota baru terus berjalan.
Audit
Di sini lah peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk ikut mengawasi dan mengaudit penggunaan anggaran yang dialokasikan untuk proyek ibu kota baru. Hal itu lantaran pemerintah yang terkesan kurang transparan dalam menganggarkan alokasi dana pembangunan ibu kota membuat masyarakat menjadi bertanya-tanya apakah proyek itu serius menjadi program pemerintah atau hanya keinginan elite pemerintahan semata. Pasalnya, Bambang Soemantri Brojonegoro saat menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada 2018, pernah menyinggung, jika pemerintah sudah menggelontorkan anggaran Rp 40 miliar untuk digunakan studi pemindahan ibu kota.
Perinciannya, anggaran Rp 1,8 miliar sudah terpakai pada 2017, dan pada 2018 dialokasikan dua kali, yaitu Rp 26 miliar dan Rp 13 miliar yang digunakan untuk kajian tiga kandidat penentuan lokasi, hingga akhirnya ditetapkan di Penajam Paser Utara sebagai ibu kota negara. Pada Maret 2020, Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR, Danis Sumadilaga menyebut, anggaran groundbreaking ibu kota baru menelan sekitar Rp 200 miliar sampai 300 miliar yang dijadwalkan pada Oktober atau November 2020.
Yang menjadi pertanyaan adalah, ternyata sudah ada anggaran yang dipakai untuk pemindahan ibu kota. Pun meski tidak ada mata anggaran di APBN 2020, Kementerian PUPR bisa mengalokasikan dana ratusan miliar rupiah untuk seremoni pembangunan proyek besar tersebut. Tentu BPK yang bertugas meminta pertanggungjawaban penggunaan uang negara mesti responsif dalam mengaudit pengeluaran pemerintah. BPK wajib mengingatkan atau memberikan rekomendasi bagi kementerian tertentu untuk bisa transparan dalam membelanjakan APBN.
Bagaimana pun juga, sudah menjadi tugas BPK untuk menyelamatkan keuangan negara dalam proyek bombastis itu. Karena kalau memang pemindahan ibu kota nantinya benar-benar berjalan, BPK juga akan terkena imbasnya lantaran mengacu Pasal 23G ayat 1 UUD 1945, kedudukan BPK harus ada di ibu kota negara. Sehingga mau tidak mau BPK akan meninggalkan Jakarta menuju Penajam Paser Utara, dan proses itu membutuhkan rencana matang kalau benar memang diseriusi. Kalau hanya sekadar gimmick yang dijalankan pemerintah, tentu ada uang rakyat di situ yang sudah terserap dan menjadi sia-sia, karena manfaatnya tidak ada bagi pembangunan.
Di sini lah BPK seolah menjadi the last guardian dalam tugasnya menyelamatkan uang negara agar jangan sampai program pemindahan ibu kota yang menelan anggaran tidak sedikit, malah tidak jelas tahapan dan mekanismenya. Jangan sampai, uang yang sudah dikucurkan untuk pemindahan ibu kota, meski belum mencapai angka triliunan rupiah, hangus begitu saja lantaran ketidakjelasan masa depan proyek tersebut.