JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Komitmen negara-negara G20 untuk memperkuat penggunaan energi hijau dinilai perlu dibarengi dengan menjaga kepentingan ketahanan energi nasional. Kebijakan energi nasional telah memberi arah pengelolaan energi nasional.
Hal ini guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Kemudian juga untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil menuju penggunaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara/Anggota VII BPK Hendra Susanto mengatakan, banyak contoh keberhasilan negara-negara lain dalam pengelolaan dan transisi energi hijau. Hal ini membuat sebuah negara dapat bertahan terhadap gejolak harga minyak dunia, termasuk tekanan politik oleh negara yang lebih maju.
Dia mencontohkan, Brasil yang memiliki sumber migas lebih besar dari Indonesia tidak terlalu tergantung terhadap energi fosil. Negara tersebut sejak 1980-an secara serius dan konsisten mengembangkan biofuel.
Kemudian Jepang juga menjadi contoh negara yang tak mau tergantung terhadap energi fosil. Negara Matahari Terbit itu mengembangkan teknologi PLTN sejak 1966. Pada 2011, sekitar 40 persen listrik di Jepang berasal dari tenaga nuklir.
“Oleh karena itu, Indonesia pun tetap harus waspada jangan sampai cepat beralih ke energi hijau yang lebih mahal dan melupakan energi fosil.”
“Kondisi di atas yang seharusnya diikuti oleh Pemerintah Indonesia dengan memprioritaskan pengembangan potensi energi yang berasal dari lokal seperti panas bumi, gas alam, biofuel, tenaga air, dan nuklir,” ujarnya kepada Warta Pemeriksa, belum lama ini.
Meski demikian, Hendra menekankan, peralihan ke energi hijau tetap harus memperhatikan kepentingan ketahanan energi nasional. Dia mencontohkan, saat ini ketika terjadi kekurangan pasokan energi di dunia, beberapa negara di Eropa kembali menggunakan energi fosil untuk pembangkit listriknya.
“Oleh karena itu, Indonesia pun tetap harus waspada jangan sampai cepat beralih ke energi hijau yang lebih mahal dan melupakan energi fosil,” kata Hendra.
BPK telah melaksanakan pemeriksaan terkait pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Beberapa permasalahan terkait program EBT pada PT PLN (Persero) antara lain PLN tidak memiliki rencana pencapaian bauran EBT yang rinci dan aplikatif.
“Pemerintah sebagai regulator untuk menetapkan kebijakan EBT agar dapat segera direalisasikan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.”
Pengadaan tenaga listrik EBT juga belum memperhatikan harga keekonomian. Selain itu, PLN belum optimal dalam merencanakan dan melaksanakan pengembangan pembangkit EBT.
Untuk Pertamina, beberapa permasalahan dalam kegiatan eksploitasi energi panas bumi untuk mendukung kebijakan energi nasional penggunaan EBT. Hal ini antara lain yaitu kebijakan perencanaan kegiatan eksploitasi belum sepenuhnya mendukung kebijakan energi nasional penggunaan EBT. Perencanaan pemboran juga belum sepenuhnya dilakukan secara memadai.
Hendra menilai, akses energi bersih yang terjangkau, pendanaan, dan dukungan riset dan teknologi menjadi tantangan besar dalam upaya transisi energi. Menurutnya, perlu ada peningkatan kesiapan SDM yang kompeten di bidang energi untuk melaksanakan proses transisi tersebut.
“Pemerintah sebagai regulator untuk menetapkan kebijakan EBT agar dapat segera direalisasikan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.
Transisi energi juga menjadi salah satu isu dalam komunike SAI20. Hendra mengatakan, supreme audit institution (SAI) merumuskan peran dalam mendukung masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan dalam mengatasi aneka tantangan global termasuk transisi energi yang adil dan terjangkau.
Peta jalan atas agenda transisi energi yang telah disusun memerlukan peran BPK dalam memastikan terselenggaranya program net zero emission (NZE) secara konsisten yang akuntabel dan transparan. Termasuk juga memberikan rekomendasi kebijakan transisi energi yang konkret.
“Ini akan meningkatkan kinerja dan akuntabilitas lembaga sektor publik baik dari sisi efektivitas program dan kebijakan,” ujarnya.