JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengembangkan penerapan enterprise architecture (EA) untuk penguatan organisasi. Platform EA tersebut diberi nama Digital Enterprise Architecture atau DNA BPK.
Kepala Bagian Dukungan Pemeriksaan dan Manajemen Kinerja Teknologi Informasi, Biro TI Badan Pemeriksa Keuangan, Pingky Dezar Zulkarnain menjelaskan, EA adalah kerangka kerja yang digunakan oleh suatu organisasi untuk mengembangkan proses bisnis yang ada di organisasi tersebut.
“Supaya proses bisnis kita didukung oleh data yang cukup dan menghasilkan data yang bermanfaat. Supaya proses bisnis ini berjalan cepat dan akurat maka diperkuat dengan aplikasi untuk bisa mengalirkan data. Ini semuanya diikat dalam satu kesatuan. Tidak bisa lagi jalan kemana-mana sendiri-sendiri.”
Pingky mengatakan, dalam sebuah proses bisnis, EA akan mensyaratkan keterkaitan data, aplikasi, dan teknologi. “Itu menjadi satu kesatuan dan diikat. Rujukannya adalah visi misi organisasi. Sehingga, payung utamanya adalah visi dan misi BPK,” ujarnya kepada Warta Pemeriksa, belum lama ini.
Pingky mengatakan, penerapan EA pada masa lalu menggunakan dokumen-dokumen fisik. Sejatinya, BPK juga sudah memiliki dokumen proses bisnis. Akan tetapi, terdapat kelemahan karena akan menjadi sulit untuk menelusuri dokumen yang tidak terdigitalisasi tersebut.
“Kalau ada proses bisnis yang berubah itu akan susah misalnya kita harus menelusuri dokumen-dokumen tersebut,” ujarnya.
Pemilihan nama DNA ditampung dari beberapa masukan. Dengan mengedepankan unsur digital, ini sesuai dengan keinginan BPK yang ingin menjadi organisasi berbasis digital. Sering juga disebut dengan istilah digital by default.
“Jadi, apapun proses bisnisnya maka akan berjalan di atas platform digital,” ungkap Pingky.
Dia menekankan, DNA bukan sebuah aplikasi. Dia mengakui masih banyak yang menganggap DNA adalah sebuah aplikasi yang dibuat oleh Biro TI. Dia menyampaikan, DNA adalah platform untuk merawat organisasi BPK.
“Supaya proses bisnis kita didukung oleh data yang cukup dan menghasilkan data yang bermanfaat. Supaya proses bisnis ini berjalan cepat dan akurat maka diperkuat dengan aplikasi untuk bisa mengalirkan data. Ini semuanya diikat dalam satu kesatuan. Tidak bisa lagi jalan kemana-mana sendiri-sendiri,” ujarnya.
Pingky menyampaikan, DNA telah memetakan 17 proses bisnis utama di BPK. DNA juga sudah memetakan apakah ada data yang dihasilkan dari proses bisnis tersebut. Kemudian, terpetakan pula berbagai aplikasi yang digunakan seperti Sistem Manajemen Pemeriksaan (SMP), Sistem SDM (SSDM), dan lain-lain.
Hal itu semua akan masuk dalam arsitektur aplikasi yang ada di dalam DNA. “Akan terlihat juga kolaborasi antaraplikasi. Jadi tidak ada yang redundant,” ungkap Pingky.
Pingky menyampaikan, tantangan utama saat ini adalah masih kurangnya SDM yang memahami konsep EA. Salah satu cara untuk mengatasi masalah itu yakni penyelenggaraan sertifikasi untuk keahlian EA. Ada enam orang yang kini sudah mendapatkan sertifikasi.
Ke depannya, ujar Pingky, sertifikasi EA akan bertambah lagi. Menurutnya, pada tahun ini akan menjadi tahun sosialisasi ke pegawai supaya lebih banyak SDM yang memahami fungsi DNA.
“Jadi tidak ada lagi yang menganggap bahwa DNA adalah aplikasi buatan Biro TI,” kata Pingky.