JAKARTA, WARTA PEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedang menjalani proses pemeriksaan oleh badan pemeriksa keuangan dari lain atau peer review. Pemeriksaan pada tahun ini dilakukan oleh tiga negara yakni Supreme Audit Institution (SAI) Jerman, SAI Swiss, dan SAI Austria. Pelaksanaan kegiatan ini berlangsung mulai Mei hingga Agustus 2024.
Ketua BPK Isma Yatun menekankan, peer review diperlukan untuk menjaga kualitas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut Isma, dalam beberapa peer review yang telah dilakukan sebelumnya, BPK telah meningkatkan mutu sistem manajemennya.
“Hasil peer review ini akan menjadi krusial dalam pembentukan renstra baru BPK untuk 2025-2029,” ujar Isma dalam kegiatan “Entry Meeting Peer Review”, Selasa (14/6/2024).
Sebelumnya, BPK telah menjalani peer review sebanyak empat kali. Peer review pertama dilakukan oleh the Office of the Auditor General (OAG) New Zealand pada tahun 2004, kemudian Algemene Rekenkamer (ARK) Belanda atau Netherland Court of Audit di tahun 2009, dan Najwyzsza Izba Kontroli (NIK) Polandia di tahun 2014.
Berbeda dengan peer review sebelumnya, pada 2019 peer review dilakukan dengan metode joint review yakni direviu oleh 3 SAI negara lain yakni dengan Team Leader dari NIK Polandia sedangkan anggota tim masing-masing dari The Office of the Auditor General of Norway (OAG) Norwegia dan National Audit Office of Estonia (NAOE) Estonia.
Dari pemeriksaan tersebut, BPK telah berhasil memperkuat implementasi mandat dan independensi BPK, manajemen sumber daya, dan pedoman pemeriksaan.
Untuk pemeriksaan kali ini, peer review akan berfokus pada area sumber daya manusia (SDM), etika, dan teknologi informasi (TI). Terkait isu SDM, Isma menyampaikan, BPK telah melakukan pengelolaan berdasarkan aturan perundang-undangan dan juga hasil peer review sebelumnya.
Mengingat BPK memiliki sekitar 9.800 staf, maka manajemen SDM memang cukup menantang. Sehingga, sistem pengembangan kinerja dan karier dinilai perlu dikembangkan ke depan.
Sebagai peran dalam pencapaian SDGS, BPK tidak hanya mengaudit tetapi juga berperan sebagai teladan dalam implementasinya. Isma menekankan, BPK mempunyai kepedulian terhadap gender, keberagaman, dan inklusi, sehingga penerapan prinsip-prinsip tersebut perlu diawasi.
Dari segi etik, Isma berharap kajian ini dapat memperkuat landasan BPK untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan BPK. Oleh karena itu, BPK telah dilengkapi dengan kode etik dan Majelis Kehormatan Kode Etik untuk penegakan etik.
Karena BPK mengelola pegawai dengan jumlah besar, Isma mengakui penegakan etika menjadi tantangan utama. Hal ini memerlukan komitmen dari manajemen puncak hingga seluruh anggota staf serta dialog, tinjauan, dan perbaikan secara berkala.
Selain itu, BPK telah mengembangkan Kerangka Manajemen Integritas yang perlu ditinjau ulang bersamaan dengan sosialisasi, pelatihan, dan implementasinya. Demikian pula, BPK juga telah mengembangkan sistem pengendalian konflik kepentingan dan gratifikasi, whistleblowing system, dan fraud risk assessment, yang perlu ditinjau ulang.
Untuk isu TI, Isma menyampaikan, BPK telah mengembangkan sistem TI untuk mentransformasikan proses bisnisnya secara digital dengan membentuk budaya digital antara manusia, proses, dan teknologi.
“Seperti kita ketahui, perkembangan TI berubah dengan cepat, dan sumber daya kita terbatas,” ungkap Isma.
Oleh karena itu, Isma menyampaikan, untuk mengatasi tantangan ini diperlukan penerapan strategi TI yang tepat, seperti memperkuat ekosistem audit berbasis digital dengan mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk menggunakan sistem yang memungkinkan produksi dan pengumpulan data secara efisien dan efektif.
“BPK juga telah mengembangkan dan mengimplementasikan Digital Enterprise Architecture dan Lab Big Data Analytics yang perlu direviu,” ujarnya.