Dukung Pemerataan Kesempatan Haji, Ini Hasil Pemeriksaan BPK

by Admin

JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan kepatuhan atas pelaksanaan peningkatan kualitas pelayanan ibadah haji pada tiga obrik pemerintah pusat. Dikutip dari IHPS II 2023, pemeriksaan dilakukan sebagai upaya BPK mendorong pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan ke-16, terutama target 16.5 yakni mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel, dan transparan di semua tingkat. 

Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK mencatat pemerintah pusat dan pemda telah melakukan upaya, antara lain regulasi layanan akomodasi dan konsumsi di Arab Saudi serta transportasi udara yang ditetapkan oleh Kemenag telah selaras. Kemudian, Kemenag telah memberikan layanan konsumsi selama penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi sebanyak tiga kali sehari serta membentuk Pos Mina dalam rangka meningkatkan pengawasan atas keamanan dan 
keselamatan jemaah haji.

Di lingkup Kemenag, BPK menemukan permasalahan yakni kebijakan pembatasan pendaftaran haji belum sepenuhnya mendukung pemerataan kesempatan. Daftar tunggu calon jemaah haji regular menurut data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) per 10 Oktober 2023 mencapai 5.211.899 orang, dengan masa tunggu selama 12 sampai 48 tahun, karena pendaftaran calon jemaah haji lebih banyak dibandingkan dengan jemaah haji yang berangkat pada tahun tersebut. 

Untuk memberikan pemerataan kesempatan, Kemenag mengatur pendaftaran haji sekali dalam 10 tahun. Namun kebijakan tersebut belum dapat memberikan pemerataan kesempatan, sehingga terdapat 775 jemaah haji berangkat Tahun 1444H/2023M yang pernah berhaji dan 14.299 jemaah haji daftar tunggu yang pernah berhaji. Hal tersebut mengakibatkan belum terwujudnya pemerataan kesempatan haji bagi yang belum menunaikan ibadah haji.

Regulasi dan penerapan istithaah kesehatan dalam penetapan jemaah haji berangkat belum sepenuhnya memadai antara lain peraturan pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) tidak memuat syarat istithaah kesehatan. Sebanyak 203 jemaah haji tidak mengikuti pemeriksaan kesehatan tahap kedua. Kemudian, sebanyak 99.510 jemaah haji yang tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan jemaah haji, tetap berangkat haji. Akibatnya, terjadi peningkatan kasus jemaah haji yang wafat, badal haji, safari wukuf, dan penggunaan kursi roda.

Penetapan besaran Bipih Reguler belum optimal dalam mendukung keberlanjutan keuangan haji dan berkeadilan bagi jemaah haji. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) periode 2010 sampai 2023 mengalami peningkatan setiap tahun. BPIH Tahun 2010 sebesar Rp34,50 juta, sedangkan BPIH Tahun 2023 sebesar Rp90,05 juta, atau naik sebesar Rp55,55 juta (161 persen). 

Sementara itu, Bipih Tahun 2010 sebesar Rp30,05 juta dan Bipih Tahun 2023 sebesar Rp49,81 juta atau hanya naik sebesar Rp19,76 juta (65,78 persen). Sehingga, subsidi BPIH mengalami kenaikan sebesar Rp35,78 juta (803,41 persen) dari sebesar Rp4,45 juta pada tahun 2010 menjadi sebesar Rp40,24 juta pada tahun 2023. 

Di sisi lain, kenaikan penerimaan nilai manfaat tidak sebanding dengan pengeluaran subsidi BPIH dan alokasinya ke virtual account belum mempertimbangkan asas keadilan. Penyelenggaraan ibadah haji dengan pengelolaan keuangan haji yang berlangsung selama ini memiliki potensi risiko terhadap sustainabilitas keuangan haji. Hal tersebut mengakibatkan distribusi nilai manfaat tidak mencerminkan asas keadilan bagi jemaah haji tunggu, serta risiko likuiditas dan keberlanjutan keuangan haji di masa yang akan datang.

Pelayanan Masya’ir di Arafah, Mudzalifah, dan Mina (Armuzna) tidak sesuai dengan perjanjian kerja sama antara lain pemberangkatan jemaah dari Muzdalifah menuju Mina terlambat dan penggunaan tenda maktab di Mina melebihi kapasitas. Akibatnya, kondisi jemaah kurang nyaman karena berdesakan/overcapacity.

Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikankepada Menteri Agama agar menginstrusikan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah untuk melibatkan ulama untuk menyusun kajian tentang layanan haji regular hanya diberikan sekali kepada setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu, serta menyosialisasikan hasil kajian tersebut sebelum ditetapkan dalam peraturan menteri agama.

BPK juga merekomendasikan agar Menag mengusulkan dan menetapkan ketentuan tentang pemeriksaan kesehatan tahap kedua sebagai syarat pelunasan Bipih.

Selain itu, Menag perlu melibatkan ulama untuk menyusun kajian tentang besaran alokasi nilai manfaat yang digunakan untuk menutupi BPIH dengan mempertimbangkan asas keadilan dan keberlangsungan dana haji, serta mengusulkan kepada DPR hasil kajian tersebut serta strategi penerapannya.

Kemudian, menyepakati secara tertulis dengan syarikah penyedia layanan Armuzna mengenai mekanisme pengawasan pelayanan, serta memerintahkan Kepala Kantor Urusan Haji memperhitungkan kebutuhan fasilitas atas seluruh layanan di Armuzna sesuai jumlah jemaah haji Indonesia dan menegosiasikan kebutuhan fasilitas atas seluruh layanan di Armuzna dengan syarikah yang ditunjuk.

Selain itu, BPK merekomendasikan agar Menag berkoordinasi dengan BPKH untuk menyusun kajian tentang mekanisme cicilan pelunasan selama masa tunggu untuk meringankan biaya pelunasan.

You may also like