Skandal Jiwasraya dan Nasib Hasil Audit BPK

by super admin

Oleh: Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa ( Juara II Lomba Karya Jurnalistik BPK 2020 kategori Opini)

 

 

Kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) seolah semakin meneguhkan opini publik bahwa pengelolaan BUMN hanya menjadi ajang penyedotan keuntungan secara membabi buta. Episode buram yang mengisahkan betapa buruknya pengelolaan keuangan BUMN tiada pernah kehabisan cerita. Belum selesai cerita keruwetan di satu BUMN  muncul kasus yang lain.

Masalah yang membelit Jiwasraya merupakan proses akumulasi yang cukup panjang. Menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna Jiwasraya sudah bermasalah sejak 2006. Jiwasraya disebut memanipulasi laporan keuangan sejak 2006. Meski mencatatkan laba, namun laba itu disebut semu karena adanya rekayasa akuntansi.

BPK pada saat melakukan pemeriksaan keuangan kala itu lantas memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Defisit perseroan PT Jiwasraya juga semakin lebar, yakni Rp 5,7 triliun pada 2008 dan Rp 6,3 triliun pada 2009. Kondisi keuangan Jiwasraya terus memburuk yang akhirnya berujuang pada kasus gagal bayar polis yang membuat kebobrokan itupun terkuak, Kompas (22/1).

Mengikuti perjalanan kasus yang menghimpit dari sejak tahun 2006 hingga hari  ini menyembulkan tanda tanya besar yakni bahwa BPK sudah jauh-jauh mengingatkan terjadi ketidakberesan dalam pengelolaan keuangan Jiwasraya, tetapi mengapa tetap saja dibiarkan hingga semuanya menjadi semakin parah? Lantas apa makna hasil audit berikut rekomendasi pemeriksaan yang dilakukan BPK kalau hasilnya tidak mendapatkan perhatian yang serius bahkan cenderung diabaikan.

 

Menjadikan BPK Lebih Berdaya

Bahwa kerja-kerja BPK dalam melakukan audit seharusnya diarahkan dan dipastikan memiliki dampak positif dalam penggunaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK harus dipastikan ditindaklanjuti oleh setiap lembaga yang mengelola keuangan negara. Namun dalam kasus Jiwasraya tentu publik patut mempertanyaakan bagaimana Jiwasraya dan pihak pihak terkait bersikap terhadap temuan penyimpangan yang sesungguhnya sudah terendus sejak 2006 yang lalu tersebut. Mengapa temuan BPK yang harusnya menjadi deteksi dini terhadap penyimpangan keuangan tersebut seolah hanya jadi macam kertas yang tidak bermakna apa-apa sehingga akhirnya persoalan pun semakin parah.

Menurut undang-undang, kewenangan BPK hanya berhenti pada penyerahan hasil pemeriksaan tersebut kepada legislatif, pemerintah, dan lembaga yang diaudit. Walaupun BPK memiliki kewenangan untuk memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, hasil pemantauan tersebut diserahkan kembali kepada legislatif dan pemerintah.

Dari sudut hukum, hampir tidak ada mekanisme yang bisa digunakan BPK untuk memaksa suatu lembaga untuk melaksanakan hasil pemeriksaannya. Undang-undang juga tidak memuat sanksi apa pun ketika hasil pemeriksaan BPK tidak ditindaklanjuti.

Salah satu cara yang bisa digunakan BPK adalah melalui publikasi hasil pemeriksaan/rekomendasi secara detail kepada publik. Menurut undang-undang, hasil pemeriksaan yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. Terhadap hasil pemeriksaan yang terindikasi pidana memang hanya disampaikan kepada penegak hukum.

Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran menunjukkan peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. BPK akan meningkatkan pemeriksaan untuk menilai pengelolaan keuangan negara dalam mencapai tujuan negara, yaitu kemampuan entitas dalam melaksanakan program-program pembangunan, utamanya yang langsung berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, ke depan masyarakat selain melihat dari perolehan opini atas laporan keuangan, juga harus melihat kepada hasil pemeriksaan kinerja BPK untuk menilai prestasi kerja suatu entitas pemerintah daerah.

Ada dua peran BPK dalam pemberantasan korupsi. Pertama, menemukan penyalahgunaan atau penyelewengan. Ini merupakan tindakan represif atau bersifat korektif. Jika pada hasil pemeriksaan ditemukan perbuatan berindikasi tindak pidana korupsi, BPK melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti. BPK terus berkoordinasi dengan penegak hukum terkait dengan tindak lanjut hasil pemeriksaannya.

Kedua, mencegah penyalahgunaan dan penyelewengan. Ini tindakan pencegahan (represif). Pencegahan dilakukan BPK melalui pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern entitas yang diperiksa atau audit. Kedua, BPK merancang pemeriksaan atas sistem kendali korupsi (fraud control system) pada entitas pemerintah. Jika selama ini pemeriksaan BPK untuk mendeteksi indikasi korupsi, maka pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keberadaan, implementasi dan efektivitas sistem kendali korupsi di lingkungan entitas. Ini sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

BPK harus dilihat sebagai salah satu aktor yang berfungsi dalam mitigasi praktik korupsi. BPK adalah satu-satunya lembaga tinggi negara yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan Pasal 23E UUD 1945. Dengan demikian, peran BPK sangat penting untuk memastikan tidak terjadinya penyimpangan dan praktik korupsi dalam pengelolaan keuangan negara.

Kita tentu berharap, kasus Jiwasraya ini harus diungkap secara tuntas. Butuh sinergi dan komitmen yang kuat dari lembaga-lembaga seperti BPK, Kejaksaan Agung dan KPK untuk bersama-sama mengungkap mega skandal Jiwasraya ini. Langkah BPK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru saja melakukan penandatanganan kesepakatan kerja sama diharap segera diikuti dengan langkah-langkah nyata dalam upaya menyelwamaty uang Negara.  Kesepakatan  tersebut diharapkan bisa memaksimalkan kontribusi kedua lembaga dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang terindikasi merugikan negara dan mengandung unsur pidana.

 

Gerakan Sosial Melawan Korupsi

Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), maka salah satu tolok ukur kinerja pemerintah daerah dapat dilihat dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), yang tentu saja harus terlebih dahulu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Informasi dalam LKPD harus dapat memenuhi kebutuhan para penggunanya, yang menurut SAP dinyatakan bahwa kelompok utama pengguna laporan keuangan pemerintah adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, pemerintah, dan pihak lain yang berkepentingan. Jika kita beranalogi dengan kegiatan ekonomi, maka terdapat kemiripan dengan kegiatan perdagangan saham di pasar modal. Di pasar modal, perusahaan-perusahaan akan belomba menarik hati investor agar mau berinvestasi pada saham yang diterbitkannya. Salah satu perhatian utama investor di pasar modal sebelum berinvestasi adalah laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit dan diterbitkan opini audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).

Investor sangat tergantung pada opini audit dalam pengambilan keputusan investasi, karena itu peranan KAP di pasar modal sangat strategis dan dapat berkontribusi menentukan nasib ribuan investor dan calon investor. Begitu juga dengan pemerintah daerah, setiap tahun LKPD diaudit oleh BPK yang kemudian juga diterbitkan opini auditnya.

Dengan demikian, ibaratnya seorang investor di pasar modal, sebenarnya rakyatpun bisa saja menentukan keputusan politiknya dengan dasar opini audit yang diterbitkan oleh BPK. Agar bangsa ini bisa hidup mulia tanpa korupsi, kesadaran masyarakat harus ditransformasikan menjadi gerakan sosial yang bisa menangkal dan melawan korupsi. Melalui gerakan sosial menangkal korupsi itu, public akan terlibat dalam pengawasan praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang mempunyai kekayaan tidak sebanding dengan penghasilannya.

Penggunaan uang negara harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan. Pertanggungjawaban atas uang negara itu pun harus dilakukan secara transparan. Setiap rupiah dana negara yang keluar dari kas negara harus benar-benar dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan lainnya, apalagi dikorupsi. Karena itu, kita berharap  hasil audit  juga menjadi standar laporan keuangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Bukan hanya dalam administrasi keuangan, kita pun ingin agar standar yang sama juga diimplementasikan dalam menjaga semangat untuk mempertanggungjawabkan setiap rupiah penggunaan uang rakyat. Semoga

You may also like