DKI Jakarta Butuh Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara

by Admin 1
Anggota V/Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Bahrullah Akbar

JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan the Supreme Audit Office of Republic of Poland (NIK) menggelar seminar bilateral bertema “Audit atas Polusi Udara”. Dalam seminar yang digelar secara virtual pada Kamis (4/2) tersebut, BPK membagikan pengalaman pemeriksaan pengendalian pencemaran udara dari transportasi darat pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tahun anggaran 2019.

Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara/Anggota V BPK Bahrullah Akbar menjelaskan, pemeriksaan pengendalian pencemaran udara tersebut untuk memberikan nilai tambah pemeriksaan bagi para pemangku kepentingan melalui “Long Form Audit Report” (LFAR). Melalui LFAR, kata Bahrullah,  BPK melakukan pemeriksaan laporan keuangan yang turut memperhatikan penekanan pada aspek-aspek kinerja yang dicapai entitas di dalam periode pemeriksaan.

“Pendekatan ini merupakan implementasi dari semangat International Standard of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 12 yang bertujuan mendorong pemerintah agar tidak hanya mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan. Tapi juga secara optimal mengelola sumber daya yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Bahrullah dalam paparannya.

Bahrullah memaparkan, ada empat temuan utama terkait pemeriksaan pengendalian pencemaran udara dari transportasi darat pada Pemprov DKI. Pertama, Pemprov DKI Jakarta belum memiliki grand design pengendalian pencemaran udara yang komprehensif dalam upaya perbaikan kualitas udara. Penyusunan grand design belum mengakomodasi basis data inventarisasi emisi pencemaran udara yang berkesinambungan.

Selain itu, program Pengendalian Pencemaran Udara (PPU) Pemprov DKI Jakarta masih bersifat sektoral dan belum terpadu. Akibatnya, perencanaan dan pelaksanaan program pengendalian pencemaran tidak terarah dan efektif dalam memperbaiki kualitas udara di DKI Jakarta. “Berbagai instansi cenderung bekerja sendiri dalam mengatasi polusi udara,” kata Bahrullah.

Temuan kedua, Pemprov DKI Jakarta belum memiliki rencana aksi dan target konversi BBM ke BBG dan regulasi yang mendukung penerapan kebijakan bahan bakar ramah lingkungan yang memadai. Selain itu, monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan Program Bahan Bakar Ramah Lingkungan belum berjalan optimal di Provinsi DKI Jakarta. Akibatnya, kontribusi kebijakan bahan bakar ramah lingkungan terhadap pengendalian pencemaran udara tidak dapat dievaluasi.

Ketiga, penerapan kebijakan uji emisi kendaraan bermotor belum optimal dalam upaya meningkatkan kualitas udara. Pemprov DKI Jakarta dalam menentukan target kegiatan dan aktivitas pendukung belum konkret mengarah pada ukuran hasil, sistem pengujian emisi kendaraan bermotor belum dimutakhirkan, serta regulasi yang belum lengkap dan belum diterapkan sepenuhnya. Akibatnya, target peningkatan kualitas lingkungan hidup dari kegiatan uji emisi tidak efektif sehingga penurunan tingkat pencemaran udara dari kegiatan uji emisi tidak tercapai.

Sedangkan temuan terakhir, penerapan sistem transportasi publik yang terintegrasi serta manajemen rekayasa lalu lintas belum optimal dalam mendukung penurunan pencemaran udara di DKI Jakarta. Selain itu, pola manajemen rekayasa lalu lintas seperti pelaksanaan kebijakan ganjil genap dan kebijakan hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) belum optimal dalam mendukung upaya shifting ke transportasi publik. Akibatnya, pencapaian target peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui penurunan tingkat pencemaran udara dari kegiatan integrasi sistem transportasi publik dan manajemen rekayasa lalu lintas menjadi terhambat.

Salah satu rekomendasi BPK kepada Gubenur DKI Jakarta adalah menetapkan grand design pengendalian pencemaran udara yang komprehensif untuk memperbaiki kualitas udara di Provinsi DKI Jakarta. Penyusunan tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan dua hal.

Pertama, perencanaan yang berbasis pada data yang berkesinambungan berdasarkan model inventarisasi emisi/penyebab pencemaran udara. Kedua, target pengendalian pencemaran udara (termasuk penggunaan parameter PM 2,5) sebagai tolok ukur utama sehingga menjadi acuan penetapan target capaian pada setiap program/kegiatan yang berkesesuaian dengan aktivitas pengendalian pencemaran udara ataupun Gas Rumah Kaca (GRK).

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat diwawancarai Warta Pemeriksa terkait hasil pemeriksaan pengendalian pencemaran udara pada September 2020 mengatakan, Pemprov DKI menerima hasil pemeriksaan tersebut sebagai hasil yang objektif.

Anies mengatakan, peta jalan pengendalian polusi udara terus disusun oleh DKI Jakarta bersama kementerian terkait dengan pemerintah daerah tetangga. Ia menjelaskan, peta jalan pengendalian polusi harus menjadi peta jalan bersama karena polusi tidak mengenal batas wilayah. “Seperti kita ketahui, polusi itu tidak pernah permisi untuk masuk ke Jakarta, begitu juga tidak permisi untuk keluar dari wilayah. Jadi, harus dikerjakan lintas wilayah,” ujar dia.

Mengenai program bahan bakar lingkungan, yaitu penggunaan bahan bakar gas, Anies menyebut Pemprov DKI ingin lebih mengoptimalkan tenaga listrik untuk kendaraan. “Menurut saya dalam menjalankan hal ini, kita harus punya blue print yang lebih jangka panjang. Dalam jangka panjang, penggunaan energi listrik itu adalah yang paling efisien. Investasi awal memang mahal, tetapi dalam jangka panjang akan menguntungkan.”

You may also like