Oleh Fitri Yuliantri P, Pranata Humas Muda BPK
JAKARTA, WARTAPEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021. Tren pemerolehan opini WTP untuk LKPP ini sudah terjadi sejak LKPP tahun 2016.
Tren opini WTP tidak hanya diperoleh pemerintah pusat. Hal ini bisa dilihat dari jumlah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapat opini WTP juga semakin meningkat.
Pada tahun 2016, ada 378 LKPD dengan opini WTP dan pada tahun 2020 terdapat 486 LKPD dengan opini WTP (Sumber: Siaran Pers BPK).
Mendapat opini WTP dari BPK memang sebuah prestasi, sehingga tak jarang dirayakan oleh instansi yang memerolehnya. Meskipun begitu, perlu diingat bahwa opini WTP pada dasarnya adalah laporan keuangan entitas yang diperiksa BPK dan dinilai telah menyajikan secara wajar dalam semua hal. Baik secara material, posisi keuangan, hasil usaha, maupun arus kas entitas. Seluruhnya telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (Sumber: Ruang Edukasi BPK).
“Di Ibu Kota, semester pertama 2021 BPK mendapatkan 71 temuan senilai Rp256,1 miliar dan memberikan 138 rekomendasi. Pemprov DKI pun telah melakukan tindak lanjut. Akan tetapi, hanya 21 atau sekitar 15,2% yang sesuai dengan rekomendasi BPK. Sisanya, sebanyak 29 (21%) belum sesuai rekomendasi, dan 88 (63,8%) belum dilakukan tindak lanjut.”
Jadi, dapat dikatakan bahwa mendapatkan opini WTP adalah kewajiban bagi semua instansi atau entitas yang diperiksa BPK. Selain itu, meskipun sebuah entitas mendapatkan opini WTP, dalam keadaan tertentu BPK biasanya memberikan catatan dalam bentuk rekomendasi yang harus ditindaklanjuti.
Setelah itu, BPK akan mengeluarkan laporan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan (TLRHP) atas laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang telah diterbitkan sebelumnya. Dengan demikian, pemeriksaan BPK tak berhenti setelah sebuah institusi mendapatkan opini WTP. Masih ada kewajiban lain yang harus ditindaklanjuti pihak-pihak terkait sebagai auditee atau terperiksa.
Sebagai contoh, pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021, BPK masih mencatat ada beberapa permasalahan. Karenanya, BPK pun mengeluarkan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat.
Dalam kondisi ini, auditee harus aktif menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Tindak lanjut rekomendasi diperlukan untuk memperbaiki sistem pengendalian internal (SPI) dan kepatuhan terhadap perundang-undangan.
Secara nasional, hasil pemeriksaan terhadap pelaksanaan TLRHP atas LHP yang telah diterbitkan per semester pertama 2021 mencapai 76,9%. Artinya, masih ada sekitar 23,1% kewajiban tindak lanjut yang belum atau tak dapat ditindaklajuti oleh entitas yang diperiksa BPK.
Di antara institusi yang telah melaksanakan rekomendasi BPK secara penuh adalah Mahkamah Agung (MA). Sampai dengan semester kedua 2021, hasil pemantauan terhadap pelaksanaan TLRHP di MA telah mencapai 100 persen.
Selain MA, entitas lain di pusat yang juga telah melaksanakan tindak lanjut rekomendasi BPK mencapai 100% adalah lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Sekretariat Kabinet (SETKAB).
Antara Jabar dan DKI Jakarta
Bagaimana dengan tindak lanjut yang dilakukan pemerintah daerah setelah memeroleh opini WTP? Sebagai contoh akan dibahas apa yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Tahun lalu, Pemprov Jawa Barat mendapatkan opini WTP dari BPK. Pencapaian kesebelas berturut-turut ini tentunya merupakan prestasi yang cukup baik untuk sebuah laporan keuangan. Akan tetapi, setelah mendapatkan WTP tersebut, apakah Pemprov Jabar juga menindaklanjuti rekomendasi BPK?
Pada semester pertama tahun 2021, BPK RI mendapatkan 28 temuan dan memberikan 62 rekomendasi yang nilainya mencapai Rp23,5 miliar. Akan tetapi, Pemprov Jabar baru menindaklanjuti sebanyak 11 item (17,7%) yang sesuai rekomendasi BPK, sisanya 51 item (82,3%) belum sesuai rekomendasi BPK.
Bagaimana dengan DKI Jakarta? Di Ibu Kota, semester pertama 2021 BPK mendapatkan 71 temuan senilai Rp256,1 miliar dan memberikan 138 rekomendasi. Pemprov DKI pun telah melakukan tindak lanjut. Akan tetapi, hanya 21 atau sekitar 15,2% yang sesuai dengan rekomendasi BPK. Sisanya, sebanyak 29 (21%) belum sesuai rekomendasi, dan 88 (63,8%) belum dilakukan tindak lanjut.
Dengan melihat angka-angka di atas, berarti pada semester pertama tahun 2021 belum banyak rekomendasi BPK yang diselesaikan Pemprov Jabar dan DKI Jakarta.
Aspek Hukum Rekomendasi BPK
Secara hukum, pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam LHP dan wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi tersebut. Hal ini sebagaimana termuat dalam Peraturan BPK RI No 2 Tahun 2017 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan.
Pada pasal 6 Peraturan BPK RI No 2 tahun 2017, secara tegas disebutkan, bahwa:
(1) BPK menelaah jawaban atau penjelasan yang diterima dari pejabat untuk menentukan apakah tindak lanjut telah dilakukan sesuai dengan rekomendasi BPK.
(2) Penelaahan terhadap jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh BPK dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
(3) Dalam proses penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPK dapat:
a. meminta klarifikasi atas jawaban atau penjelasan pejabat;
b. melakukan pembahasan dengan pejabat; dan/atau
c. melakukan prosedur penelaahan lainnya.
Sementara mengenai dampak hukum atas rekomendasi yang telah diberikan BPK tertuang dalam pasal 9 dan pasal 10 Peraturan BPK RI No 2 Tahun 2017.
– Pasal 9
(1) Apabila klasifikasi tindak lanjut menunjukkan tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi atau rekomendasi belum ditindaklanjuti, pejabat wajib melaksanakan tindak lanjut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan status diterima entitas.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) klasifikasi tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi atau rekomendasi belum ditindaklanjuti, BPK dapat melaporkan kepada instansi yang berwenang.
– Pasal 10
Penyelesaian tindak lanjut tidak menghapuskan tuntutan pidana.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mendapatkan opini WTP bukan segala-galanya. Opini WTP tidak menghilangkan kewajiban lain seperti yang telah direkomendasikan BPK. Ingat, ada sanksi pidana bagi pejabat yang lalai menindaklanjuti rekomendasi dalam batas waktu tertentu.