JAKARTA, WARTAPEMERIKSA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan permasalahan dari hasil pemeriksaan atas pengelolaan independent power producer (IPP) pada 2016 hingga semester I 2020 di PT PLN dan instansi terkait lainnya. Dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2022, permasalahan tersebut antara lain terkait operasi pembangkit IPP.
BPK menemukan, PLN belum optimal melakukan upaya penurunan tarif dan mitigasi risiko penyerapan tenaga listrik di bawah batas minimum dalam skema take or pay untuk memperbaiki biaya pokok penyediaan tenaga listrik.
Hal ini mengakibatkan PLN kehilangan kesempatan untuk menghemat biaya pokok penyediaan tenaga listrik pada 2020 sebesar Rp4,52 triliun dari upaya penurunan tarif pembelian tenaga listrik. Selain itu, PT PLN kehilangan kesempatan untuk menghemat biaya pokok penyediaan tenaga listrik dari make up energi listrik pada 2020.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan direksi PT PLN menyusun pedoman terkait penentuan tarif tenaga listrik secara umum, termasuk untuk pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT), untuk keperluan pada masa mendatang. Selain itu, menginstruksikan EVP IPP dan EVP Perencanaan Sistem lebih optimal menindaklanjuti rekomendasi BPK dalam LHP sebelumnya.
Hal itu yakni mengupayakan energy make up untuk memanfaatkan energi yang tidak terserap dalam skema take or pay kontrak pembelian listrik IPP. Dalam penetapan kapasitas pembangkit IPP, PLN belum memperhatikan kemampuan keuangan dan rencana investasi sesuai tata kelola perusahaan yang baik.
BPK merekomendasikan direksi PLN menginstruksikan Executive Vice President (EVP) IPP serta pejabat terkait lainnya untuk mengevaluasi kewajaran tarif pembelian tenaga listrik IPP.
Hal ini mengakibatkan PLN tidak dapat mengukur kewajaran dan efektivitas investasi PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) melalui PT PJB Investasi (PJBI) di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru. Termasuk juga timbulnya risiko kehilangan investasi tersebut.
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan direksi PLN agar melakukan reviu dan evaluasi terhadap efektivitas investasi yang telah dilakukan oleh PJBI pada PLTA Batang Toru. Kemudian menyusun langkah-langkah strategis yang konkret untuk memitigasi risiko dalam investasi tersebut.
Dalam pengadaan IPP dan konstruksi pembangkit IPP, PLN menentukan tarif pembelian tenaga listrik tidak menggunakan referensi paling mutakhir. Juga tidak mengevaluasi berdasarkan kondisi riil serta tidak mempertimbangkan status lahan aset IPP pascamasa kontrak.
Hal ini mengakibatkan potensi ketidakhematan biaya pokok penyediaan tenaga listrik PLN dan salah satunya dapat membebani subsidi listrik yang dibayarkan oleh pemerintah. Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan direksi PLN menginstruksikan Executive Vice President (EVP) IPP serta pejabat terkait lainnya untuk mengevaluasi kewajaran tarif pembelian tenaga listrik IPP.
Kemudian selanjutnya menyusun rencana aksi untuk menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut secara optimal yang paling menguntungkan PLN. Termasuk juga mengkomunikasikan/konsultasi penyesuaian harga pembelian tenaga listrik dalam kontrak IPP terkait dengan mempertimbangkan status kepemilikan lahan, nilai residu, dan biaya investasi riil pembangkit.