JAKARTA, WARTA PEMERIKSA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengawal penyaluran subsidi dan pembayaran kompensasi untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Seperti diketahui, status BUMN sebagai bagian dari keuangan negara sudah ditegaskan secara yuridis formal melalui UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun secara perspektif hukum positif pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Dalam lingkup pemeriksaan Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) VII BPK, terdapat beberapa area yang perlu menjadi sorotan. Hal itu antara lain terkait subsidi, kompensasi, dan penyertaan modal negara (PMN). Kemudian, mengenai ekuitas BUMN utamanya 18 BUMN dengan nilai dan risiko tinggi, dividen, PNBP Migas dan cost recovery, serta Barang Milik Negara (BMN) yang dikelola KKKS.
Pimpinan Pemeriksaan Keuangan Negara VII/Anggota VII BPK, Slamet Edy Purnomo menyampaikan, persoalan belanja kompensasi dan subsidi patut menjadi perhatian dalam pemeriksaan BPK. Dia mengungkapkan, belanja kompensasi BBM dan listrik pada 2022 naik drastis ke level Rp352 triliun. Angka ini bahkan melebihi total subsidi untuk semua sektor yang mencapai Rp245 triliun.
“Subsidi memang ditargetkan untuk (masyarakat) kurang mampu, namun untuk kompensasi nyatanya lebih banyak dinikmati kalangan mampu,” ungkap Slamet.
Pada 2022, dana kompensasi BBM mencapai Rp288 triliun. Angka itu empat kali lipat dibanding tahun 2021 yang sebesar Rp68 triliun. Slamet pun menilai perlu ada mekanisme pembatasan kuota, jenis kendaraan, maupun orang yang bisa membelinya karena dapat memberatkan APBN.
“Atas kompensasi BBM dan listrik ini maka Pertamina, PLN, Kementerian BUMN bersama dengan Kemenkeu dan Kementerian ESDM harus segera mendorong penyesuaian dengan harga yang sifatnya forward looking agar neraca pemerintah maupun BUMN lebih sehat,” ujarnya.
Terkait subsidi pupuk, terdapat kenaikan subsidi pupuk pada 2022 mencapai Rp40 triliun dengan volume mencapai 7,59 juta ton. Namun, nyatanya, masih banyak kelangkaan di masyarakat dan hal ini menimbulkan keresahan. Slamet mendorong Kementerian BUMN berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk meminimalisir penyimpangan distribusi pupuk bersubsidi ini.
Secara umum, ungkap Slamet, terdapat empat risiko utama dalam penyaluran subsidi dan kompensasi yang berpengaruh terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Hal itu yakni Risiko Kepatuhan, Risiko Bisnis, Risiko Operasional, dan Risiko Kebijakan.
Slamet juga menyampaikan adanya risiko pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Beberapa risiko yang dapat diidentifikasi yaitu pengakuan pendapatan dan beban yang diakui oleh KAP di dalam LK BUMN tidak wajar dan tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Kemudian, dapat disoroti kesesuaian opini yang diberikan oleh KAP serta risiko opini atas LK BUMN tidak selaras dengan Tingkat Kesehatan, Predikat, dan Permasalahan di dalam BUMN.
Persoalan dispute BUMN dengan kementerian/lembaga juga menjadi sorotan Slamet. Dia menyampaikan, terdapat sebanyak 36 permasalahan antara BUMN/KKKS dengan kementerian/lembaga senilai Rp41,62 triliun. Selain itu ada juga 39 permasalahan antar-BUMN dengan total nilai Rp13,84 triliun.
Sebelumnya, Slamet menyampaikan, persoalan dispute terjadi dalam isu tarif listrik. Isu tidak hanya melibatkan PT PLN (Persero) sebagai operator, tapi juga ada keterkaitan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sehingga, AKN VII harus intensif berkolaborasi dengan AKN IV yang menaungi kementerian tersebut.
Saat ini, ungkap Slamet, AKN VII juga tengah melakukan investarisasi perselisihan atau dispute antar-BUMN. Dia menyampaikan, dispute ini kerap terjadi karena terjadi transaksi utang piutang antar-BUMN.
“Yang satu merasa punya tagihan, yang satu merasa punya utang sehingga muncul dispute. Ini kita coba selesaikan,” ujarnya.
Slamet kembali menegaskan, kunci untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah dengan berkoordinasi dengan AKN lain. Dia menyoroti, sejumlah rekomendasi yang diberikan selama ini masih bersifat parsial. Contohnya, AKN VII memberikan rekomendasi pada suatu BUMN sementara kebijakan tersebut berada di lingkup kementerian teknis. Hal ini kemudian membuat rekomendasi tidak bisa ditindaklanjuti oleh entitas.
Slamet pun mendorong agar seluruh rekomendasi yang disampaikan BPK sudah terkonsolidasi dan memperhatikan concern dari AKN lain. Ini juga sejalan dengan proses bisnis BUMN yang kini saling terintegrasi dengan berbagai pihak.