Keuangan Berkelanjutan di Indonesia, Perlukah?

by admin2

Oleh: Sherlita Nurosidah, Penelaah Teknis Kebijakan di Biro SDM BPK RI

Keuangan berkelanjutan atau yang lebih dikenal dengan sustainable finance merupakan pendekatan keuangan (ekonomi) yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan (sosial) dan ramah lingkungan. Indonesia merupakan salah satu penghasil carbon footprints terbesar di dunia. Adanya Paris Agreement membuat Indonesia menetapkan target untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% dengan pendanaan dari keuangan negara di tahun 2030.[1] Tekanan terhadap pemenuhan target tersebut membuat Indonesia berburu pendanaan dan menciptakan berbagai regulasi yang menunjang.

Sejak tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan dua roadmap yang berkaitan dengan keuangan berkelanjutan, yakni tahun 2015-2019 dan 2021-2025. Beberapa agenda yang diusung dalam rencana tersebut, antara lain adanya indeks hijau, obligasi hijau, produk ramah lingkungan, transportasi hijau, energi terbarukan, konservasi energi, pariwisata ramah lingkungan, dan pertanian organik. Dengan semakin besarnya perhatian dunia pada ketiga sektor tersebut, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, keberadaan keuangan berkelanjutan dianggap dapat memperkuat tujuan, fungsi, dan tugas pokok sektor keuangan di Indonesia.


Keuangan berkelanjutan tidak terlepas dari pendanaan yang bertujuan untuk menanggulangi krisis perubahan iklim. Misalnya, green climate fund, adaptation fund, dan climate investment fund. Tidak hanya itu, investasi juga diarahkan pada proyek yang berkecimpung dalam pengurangan emisi karbon.[2] Meskipun demikian, sektor keuangan di Indonesia masih terpusat pada kategori tertentu dan belum sepenuhnya berkembang.[3]

Sejak adanya program sustainable banking dengan melibatkan 8 bank komersil, berbagai kegiatan dilaksanakan untuk mengembangkan kapasitas partisipannya. Di tahun 2018, Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan sukuk hijau senilai 1,25 milyar USD. Meskipun demikian, gebrakan tersebut dipandang kurang efektif awalnya karena tidak adanya insentif atas kepatuhan bahkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 51/2017 dipandang hanya bersifat simbolistik serta tidak cukup mumpuni untuk mendorong terlaksananya keuangan berkelanjutan. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan sumber daya dan kemampuan teknis para pembuat kebijakan untuk memproyeksikan implementasi roadmap yang telah dibuat.

Untuk dapat menerapkan konsep keuangan berkelanjutan dengan baik, diperlukan setidaknya ketepatan informasi dan kepatutan manajemen risiko. Ketepatan informasi yang dimaksud, yakni dengan adanya insentif yang jelas tidak hanya untuk lembaga keuangan, namun juga untuk pengembang proyek sehingga semakin membuka peluang permintaan proyek sejenis. Selain itu, perlu adanya penyeragaman indikator dalam kategorisasi atas interpretasi proyek hijau. Sehingga portofolio pelaksanakan keuangan berkelanjutan tidak lagi hanya bersifat ad hoc, sporadis, dan tidak terdokumentasi dengan baik.

Pada dasarnya, Indonesia telah memiliki peraturan terkait dengan pengaturan manajemen risiko, sejak 1998 dengan mengharuskan Bank untuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pembiayaan besar atau risiko tinggi. Selain itu, Bank Indonesia juga harus mempertimbangkan rating Public Disclosure Program for Environmental Compliance (PROPER) dari bakal calon peminjam. Pada tahun 2021, sesuai penilaian PROPER, dari 2.548 perusahaan yang dinilai, 75% telah masuk dalam kategori taat dan 25% tidak taat. Namun, pada praktiknya, tidak semua bank mempublikasikan dan mengimplementasikan kebijakan peminjaman berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG) tersebut. Keberadaan PROPER sebagai acuan masih menjadi perdebatan karena kurang jelasnya mekanisme kepatuhan yang dimiliki dalam menguji perusahaan. Selain itu, untuk perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit, regulasi menyebutkan adanya kewajiban untuk menampilkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) namun senyatanya tidak demikian. Dengan menunjukkan surat keterangan akan melakukan sertifikasi telah dianggap mumpuni. Analisis sosial dan lingkungan lanjutan masih dipandang jarang dilakukan oleh bank-bank tersebut. Oleh karena itu, ke depannya, perlu adanya pengawasan lebih lanjut atas penerapan regulasi yang telah ada.

Tata kelola yang baik dalam pembuatan kebijakan dan instrumen lainnya dibutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan. Integrasi sektor keuangan dengan mempertimbangkan dampaknya tidak hanya dalam perekonomian namun juga sosial masyarakat dan lingkungan sekitar membuat keuangan berkelanjutan sangat perlu didorong penerapannya di Indonesia. Terobosan tersebut akan berdampak baik tidak hanya dalam waktu dekat namun juga dalam jangka panjang.


[1] Anantharajah, K., dan Gunningham, N, Mobilising Private Climate Finance in Emergence Asia, 2018 http://www.climatefinanceinitiative.org/wp-content/uploads/2019/07/Working-Paper-1-Emerging-Asia.pdf

[2] Abidah B. Setyowati, Governing sustainable finance: insights from Indonesia, 2020, Climate Policy https://doi.org/10.1080/14693062.2020.1858741

[1] Prischa Listiningrum, et.al., Regulating Biogas Power Plant from Palm Oil Mill Effluent (POME): A Challenge to Indonesia’s Just Energy Transition, 2022, Yustisia Jurnal Hukum https://doi.org/10.20961/yustisia.v11i2.56421

You may also like